Liberalisasi Pemikiran Keagamaan Proyek gabungan Kolonialisasi, Kristenisasi dan Orientalisme



Liberalisasi Pemikiran Keagamaan
Proyek gabungan Kolonialisasi, Kristenisasi dan Orientalisme


Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi

Pendahuluan
Liberalisasi pemikiran keagamaan yang akhir-akhir ini diminati kalangan muda Muslim di Indonesia adalah merupakan pemikiran hasi impor  dari peradaban Barat.  Jika kita ingin bersikap kritis terhadap paham liberalisme, sekularisme dan pluralisme agama, maka kita perlu mengenal peradaban Barat yang menjadi sumber paham-paham ini.  Namun sebagai seorang Muslim mengenal peradaban Barat berarti juga memahaminya dalam perspektif Islam.  Jika tidak maka kita akan kehilangan sikap kritis dan cenderung bersikap appresiatif. 
Memahami Barat dalam perspektif Islam adalah sangat adil dalam situasi perang pemikiran dewasa ini. Ini sama dengan kondisi manusia Barat yang memahami Islam dalam perspektif pandangan hidup Barat. Maka dari itu agar kita bersikap adil, kita perlu meletakkan keduanya dalam status yang sama, yaitu Islam sebagai peradaban dan Barat sebagai peradaban.  Sesudah itu perlu digali elemen pandangan hidup yang menjadi asas masing-masing, kemudian menganalisa apakah paham-paham yang berasal dari pandangan hidup Barat itu dapat diterima oleh pandangan hidup Islam atau tidak.  Jadi tolok untuk membedakan satu atau lebih peradaban adalah pandangan hidupnya (worldview).  Dengan menggunakan worldview sebagai tolok ukur identitas suatu peradaban akan diketahui bahwa antara Islam dan Barat telah dan tengah terjadi perang pemikiran. Namun karena keterbatasan kajian ini, kita akan bahasa sedikit mengenai perbedaan Islam dan Barat. 
Worldview sebagai Identitas peradaban
Sebelum dipaparkan bagaimana terjadi benturan antara worldview Barat dengan worldview Islam, sebaiknya diungkapkan terlebih dulu identitas dan karakteristik kedua peradaban ini. Seperti disebutkan diatas karakter peradaban dapat didentifikasi melalui ujian terhadap worldview masing-masing. Secara awam worldview atau pandangan hidup sering diartikan sebagai filsafat hidup atau prinsip hidup atau cara pandang terhadap kehidupan. Cara pandang dan sikap manusia terhadap apa yang terdapat dalam alam semesta yang dapat mencerminkan identitas suatu peradaban dapat dilihat dari faktor-faktor dominan didalamnya seperti kebudayaan, filsafat, agama, kepercayaan, tata nilai sosial atau lainnya.
Sebagai bukti bahwa setiap peradaban memiliki pandangan hidup, dapat dilihat dari berbagai istilah yang digunakan oleh masing-masing peradaban. Untuk memaknai pandangan hidup dalam bahasa Inggeris digunakan istilah worldview (Inggeris), terkadang juga disebut paradigma.[1] Dalam bahasa Jerman dipakai istilah weltanschauung atau weltansicht, di Russia disebut mirovozzrenie. Dalam pemikiran Islam terma yang digunakan bermacam-macam seperti yaitu al-taÎawwur al-IslÉmÊ (Sayyid Qutb) al-Mabda’ al-IslÉmÊ (Shaykh Atif al-Zayn), IslÉmÊ NaÌariyat (al-Maududi), dan juga ru’yat al-Islam lil wujËd (Syed Mohammad Naquib al-Attas). Meskipun dalam Islam terdapat istilah yang berbeda-beda, tidak terdapat perbedaan prinsip yang berarti. Bahkan untuk memudahkan artikulasi istilah ini, dalam diskursus ini, istilah worldview dipakai sebagai kata pinjaman, namun ketika ia diberi kata sifat Islam, kata itu akan mengalami perubahan definisinya.[2] Meskipun istilah yang dipakai berbeda-beda pada umumnya semua sepakat bahwa setiap peradaban memiliki cara pandangnya sendiri terhadap segala sesuatu.  Penggunaan kata sifat Islam menunjukkan bahwa istilah ini sejatinya umum dan netral. Artinya agama dan peradaban lain juga mempunyai Worldview, Vision atau Mabda’, sehingga al-Mabda’ juga dapat dipakai untuk cara pandang komunis al-Mabda’ al-Shuyu’i, Western worldview, Christian worldview, Hindu worldview dll. Disini kata sifat Islam, Barat, Kristen, Hindu dll., digunakan untuk pembeda. Maka dari itu ketika kata sifat Islam diletakkan didepan kata worldview, maka makna etimologis dan terminologis menjadi berubah. Penjelasan dari istilah berikut ini akan menunjukkan hal itu
Perbedaan makna worldview dapat difahami dari terminologi yang diberikan oleh masing-masing peradaban. Ninian Smart, pakar kajian perbandingan agama, memberi makna worldview dalam konteks perubahan sosial dan moral. Worldview adalah “kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral.”[3]
Secara filosofis Thomas F Wall, memaknai worldview sebagai “sistim kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita, realitas, dan tentang makna eksistensi”.[4]  Dalam bidang yang sama Alparslan Acikgence memaknai worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, artinya aktifitas manusia dapat direduksi kedalam pandangan hidup itu.[5]
Ada tiga poin penting dari ketiga definisi diatas, yaitu bahwa worldview adalah motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktifitas ilmiah. Dalam konteks sains, hakekat worldview dapat dikaitkan dengan konsep “perubahan paradigma” (Paradigm Shift) Thomas S Kuhn[6] oleh Edwin Hung juga dianggap sebagai weltanschauung Revolution. Sebab paradigma menyediakan konsep nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi, atau ringkasnya merupakan worldview dan framework konseptual yang diperlukan untuk kajian sains.[7]  
Namun dari ketiga definisi diatas setidaknya kita dapat memahami bahwa worldview adalah identitas untuk membedakan antara suatu peradaban dengan yang lain. Bahkan dari dua definisi terakhir menunjukkan bahwa worldview melibatkan aktifitas epistemologis manusia, sebab ia merupakan faktor penting dalam aktifitis penalaran manusia.
Elemen pandangan hidup (worldview)
Sebagai sebuah sistim yang secara definitif begitu jelas, worldview atau pandangan hidup memiliki karakteristik tersendiri yang ditentukan oleh beberapa elemen yang menjadi asas atau tiang penyokongnya. Antara satu pandangan hidup dengan pandangan hidup lain berbeda karena berbeda elemennya atau karakteristiknya. Demikian pula perbedaan definisi tentang worldview juga mempengaruhi penentuan elemen didalamnya. Disini akan dibandingkan secara singkat antara elemen pandangan hidup dalam perspektif pemikir Barat dan pemikiran Muslim.
Menurut Thomas suatu pandangan hidup ditentukan oleh pemahaman individu terhadap enam bidang pembahasan yaitu:
1) Tuhan,
2) Ilmu,
3) Realitas,
4) Diri,
5) Etika,
6) Masyarakat.[8]
Seperti disebutkan diatas bagi Thomas elemen-elemen pandangan hidup diatas merupakan suatu suatu sistim yang integral, dimana antara satu konsep berkaitan dengan konsep yang lain secara sistemik. Hal ini dapat disimak dari pernyataan Thomas berikut ini:
It (belief in God’s existence) is very important, perhaps the most important element in any worldview. First if we do believe that God exists, the we are more likely to believe that there is a plan and a meaning of life, ……if we are consistent, we will also believe that the source of moral value is not just human convention but divine will and that God is the highest value. Moreover, we will have to believe that knowledge can be of more than what is observable and that that there is a higher reality – the supernatural world.    …….if on the other hand, we believe that there is no God and that there is just this one world, what would we then be likely to believe about the meaning of life, the nature of ourselves, and after life, the origin of moral standards, freedom and responsibility and so on.[9]

(Kepercayaan terhadap Tuhan adalah sangat penting, mungkin elemen yang terpenting dalam pandangan hidup manapun. Pertama jika kita percaya bahwa Tuhan itu wujud, maka kita tentu percaya bahwa disana terdapat tujuan dan makna hidup….jika kita konsisten, kita juga akan percaya bahwa sumber nilai moral bukanlah hanya sekedar kesepakatan manusia tapi kehendak Tuhan, dan bahwa Tuhan adalah nilai Tertinggi. Selanjutnya kita akan percaya bahwa (makna) ilmu pengetahuan itu lebih dari apa yang dapat diamati dan bahwa disana terdapat realitas yang lebih tinggi – dunia supernatural.  …..jika sebaliknya, kita percaya bahwa disana tidak ada Tuhan dan bahwa yang ada hanya satu dunia, maka demikian pulalah kira-kira yang akan kita percayai tentang makna hidup, hakekat diri kita, kehidupan sesudah mati, asal usul standar moralitas, kebebasan, tanggung jawab dan lain-lain.

Jadi dengan pernyataan tersebut diatas maka keenam bidang pembahasan diatas yang merupakan elemen suatu pandangan hidup mempunyai kaitan erat satu sama lain. Artinya kepercayaan individu terhadap adanya atau tidak adanya Tuhan akan berkaitan secara konseptual dengan ilmu, realitas, diri, etika dan masyarakat.
Namun bagi Ninian Smart, yang mengkaji worldview dalam konteks kepercayaan atau agama, elemen pandangan hidup ditentukan oleh elemen-elemen dalam agama dan kepercayaan masyarakat. Oleh sebab itu ia mengajukan enam elemen penting suatu pandangan hidup, yaitu: 
1) Doktrin,
2) Mitologi,
3) Etika,
4) Ritus,
5) Pengalaman dan Kemasyarakatan.[10]  
Pandangan Smart terhadap agama nampaknya dipengaruhi oleh persepsinya tentang agama di Barat, sebab disini konsep Tuhan, ilmu dan realitas nampak absen dari elemen pandangan hidup agama. Pandangan Thomas, yang melihat worldview secara filosofis, nampaknya lehih komrehensif, meskipun, seperti yang akan kita dipaparkan nanti, elemen-elemen itu tidak selengkap elemen-elemen dalam pandangan hidup Islam. Meskipun demikian elemen pandangan hidup yang disampaikan oleh Thomas dan Ninian Smart berguna bagi upaya mencari bidang-bidang pokok yang dapat digunakan untuk membandingkan antara satu pandangan hidup atau agama dengan yang lainnya.
Tidak banyak cendekiawan Muslim yang menggambarkan elemen-elemen pandangan hidup Islam secara terperinci. Shaykh Atif al-Zayn, misalnya, tidak merincikan elemen pandangan hidup Islam, namun hanya mengajukan karakteristik yang membedakan antara pandangan hidup Islam dari pandangan hidup lain. Karakteristik itu hanya tiga:
1) Ia berasal dari wahyu Allah,
2) Berdasarkan konsep (din) yang tidak terpisah dari Negara dan
3) Kesatuan antara spiritual dan material.[11]

Sebagaimana Shaykh Atif al-Zayn, Sayyid Qutb juga melihat bahwa pandangan hidup Islam itu menyeluruh dan tidak mempunyai elemen atau bagian (juz’). Ia adalah keseluruhan sisi dan sempurna karena kesempuranaan sisi-sisinya. Bahkan pandangan hidup Islam bukan ciptaan manusia, akal manusia tidak dapat menciptakannya, karena ia berasal dari Allah.[12] Disini penekanan pada aspek keilahian cukup menonjol, sedangkan aspek keilmuan tidak disebutkan. Seakan-akan pandangan hidup Islam sama saja dengan wahyu yang tanpa penjelasan keilmuan.
Menurut Porf. Al-Attas elemen asas bagi worldview Islam sangat banyak dan yang ia merupakan jalinan konsep-konsep yang tak terpisahkan. Diantara yang paling utama adalah
1)      Konsep tentang hakekat Tuhan,
2)      Konsep tentang Wahyu (al-Qur’an),
3)      Konsep tentang penciptaan,
4)      Konsep tentang hakekat kejiwaan manusia,
5)      Konsep tentang ilmu,
6)      Konsep tentang agama,
7)      Konsep tentang kebebasan,
8)      Konsep tentang nilai dan kebajikan,
9)      Konsep tentang kebahagiaan.[13]
10)  Dsb.

Disini Prof. al-Attas menekankan pada pentingnya konsep sebagai elemen pandangan hidup Islam. Konsep-konsep  ini semua saling berkaitan antara satu sama lain membentuk sebuah struktur konsep yang sistemik. Elemen yang disampaikan para Shaykh Atif, Sayyid Qutb dan Syed Naquib al-Attas berbeda dalam penekanannya, tapi ketiganya mempunyai kesamaan visi yaitu bahwa pandangan hidup Islam berbeda dari pandangan hidup Barat. Namun apa yang membedakan pandangan hidup Islam dari pandangan hidup lain mereka berbeda-beda. Shyakh Atif dan Sayyid Qutb perbedaannya adalah pada asal atau sumber pandangan hidup tersebut, sedangkan al-Attas melihat secara lebih konseptual dan praktis. Secara praktis konsep-konsep penting  yang diajukan al-Attas itu dapat berguna bagi penafsiran makna kebenaran (truth) dan realitas (reality). Apa yang dianggap benar dan riel oleh pamdangan hidup Islam tidak selalu begitu bagi pandangan hidup lain. Bagi al-Attas untuk menentukan sesuatu itu benar dan riel dalam setiap kebudayaan berkaitan erat dengan sistim metafisika masing-masing yang terbentuk oleh worldview.[14] Disini kita melihat konsep pandangan hidup al-Attas yang menekankan aspek epistemologis cukup menonjol. Dan ini cukup signifikan dalam era moderninasi dan globalisasi dimana disolusi konsep sangat menonjol dan bahkan cenderung melemahkan pandangan hidup Islam yang kekuatannya tertelak pada struktur konsepnya yang dipahami secara episemologis dan bukan ideologis.
Perbedaan Worldview Islam dan Barat
Dengan menggunakan worldview sebagai tolok ukur identitas suatu peradaban sebenarnya telah dapat diketahui bahwa antara Islam dan Barat telah dan tengah terjadi perang pemikiran. Perbedaan antara worldview Islam dan Barat bukan masalah kecil yang dapat dinafikan. Keengganan untuk membedakan antara peradaban Islam dan Barat, karena khawatir dituduh anti Barat, merupakan sikap yang cenderung menafikan identitas peradaban Islam sendiri atau bahkan kehilangan identitas (lost of identity). Di dalam masyarakat Barat sendiri anggapan bahwa Islam dan ummat Islam adalah agama dan komunitas asing yang perlu diwaspadai adalah biasa. Bahkan sikap anti Islam atau phobia Islam, baik terang-terangan seperti pelarangan jilbab dinegara-negara Eropah ataupun tersembunyi yang tercermin dalam tulisan-tulisan jurnalis dan orientalis merupakan manifestasi dan peneguhan ekslusifitas peradaban Barat itu sendiri. Hasil penelitian kumulatif terhadap lebih dari 70 negara yang dianggap mewakili 80 persen penduduk dunia yang dilakukan World Value Survey (WVS) pada tahun 1995-1996 dan 2000-2000, membuktikan bahwa Islam dan Barat memiliki perbedaan nilai yang tajam. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa kultur adalah penyebab perbedaan.[15]
Barat sendiri merupakan peradaban yang tumbuh dan berkembang dari kombinasi beberapa unsur yaitu filsafat, nilai-nilai kuno Yunani dan Romawi, agama Yahudi dan Kristen yang dimodifikasi oleh bangsa Eropah.[16] Sedangkan Islam adalah peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan pada wahyu, yang didalamnya terdapat nilai-nilai dan konsep-konsep penting yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, kehidupan yang aman, tenteram dan damai.
Identitas peradaban Barat dapat dilihat dari dua periode penting didalamnya yaitu modernisme dan postmodernisme. Ringkasnya modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan.  Zaman itupun disebut dengan zaman modern. Cirri-ciri zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme,  rasionalisme,  empirisisme, cara befikir dichotomis, desakralisasi,  prgamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama).  Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagi protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya.  Sebab postmodernisme sedikit banyak masih berpijak pada modernisme,  yang didominasi oleh paham atau pemikiran liberalisme, pluralisme, nihilisme, relativisme,  persamaan (equality), dan umumny anti-worldview. John Lock, salah seorang filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan persamaan  (pluralisme) adalah inti modernisme.  Itulah sekurang-kurangnya elemen penting peradaban Barat yang kini sedang  menguasai dunia.
Bagi kalangan yang berfikir sekuler-liberal membedakan Islam dan Barat adalah sesuatu yang tidak perlu.  Hal ini mungkin disebabkan oleh pemahaman Barat yang keliru, atau sikap apresiaif terhadap Barat yang berlebihan sehingga menjadi fanatik. Namun jika seseorang memahami Barat secara cermat dan ilmiyah maka ia akan menemukan perbedaan Islam dan Barat secara tajam.  Sebaliknya, jika terdapat seseorang yang enggan membedakan antara peradaban Islam dan Barat, karena khawatir dituduh anti Barat, maka ia telah menafikan identitas peradaban Islam sendiri atau bahkan kehilangan identitas (lost of identity).
Di dalam masyarakat Barat sendiri anggapan bahwa Islam dan ummat Islam adalah agama dan komunitas asing yang perlu diwaspadai adalah biasa. Bahkan sikap anti Islam atau phobia Islam, baik terang-terangan seperti pelarangan jilbab dinegara-negara Eropah ataupun tersembunyi yang tercermin dalam tulisan-tulisan jurnalis dan orientalis merupakan manifestasi dan peneguhan ekslusifitas peradaban Barat itu sendiri.  Hasil penelitian kumulatif terhadap lebih dari 70 negara yang dianggap mewakili 80 persen penduduk dunia yang dilakukan World Value Survey (WVS) pada tahun 1995-1996 dan 2000-2000, membuktikan bahwa Islam dan Barat memiliki perbedaan nilai yang tajam. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa kultur adalah penyebab perbedaan.[17]
Perbedaan Islam dan Barat dapat dibaca dari pernyataan Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History, and the Last Man. Disini meski ia mensejajarkan Islam dengan ideologi Liberalisme dan Komunisme, tapi Islam menurutnya memiliki nilai moralitas dan doktrin-doktrin politik dan keadilan sosialnya sendiri. Karena ajaran Islam bersifat universal, maka ia pernah menjadi tantangan bagi demokrasi liberal dan praktek-praktek liberal. Tapi kini kekuatan Islam di luar negara Islam tidak demikian, bahkan kondisi Islam kini menjadi terbalik. Dalam hal ini Fukuyama menegaskan:
Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak lebih lemah menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah memukau banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab munculnya fundamentalisme adalah kuatnya ancaman nilai-nilai liberal dan Barat terhadap masyarakat Islam tradisional. [18]
Fukuyama jelas-jelas meletakkan Islam, Liberalisme dan Komunisme sebagai ideologi-ideologi  atau pemikiran yang mempunyai doktrin masing-masing dan yang saling menebarkan pengaruhnya. Disini perbedaan antara Islam dan Barat (liberal ataupun komunis) adalah perbedaan ideologis.
Tapi, thesis Fukyama kemudian mendapat respon dari Huntington yang melihat perbedaan itu bukan dari segi ideologis, tapi kultur atau peradaban. Disini Huntington menjelaskan apa yang ia sebut dengan paradigma peradaban, yaitu komponen atau asas peradaban yang membedakan antara satu peradaban dengan lainnya. Dalam artikel berjudul If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His Critics, Huntington menyatakan bahwa asas peradaban adalah prinsip-prinsip keagamaan dan filsafat. Oleh sebab itu faktor-faktor untuk mengidentifikasi orang, dan juga faktor yang menjadikan mereka siap perang dan mati adalah keimanan dan keluarga (faith dan family), darah dan kepercayaan (blood and belief).[19] Itulah yang ia sebut dengan paradigma peradaban yang mengakibatkan clash dan merupakan feomena sentral dari politik global.
Selain itu ketika menggambarkan identitas peradaban Barat, khususnya Amerika sendiri, yang ia sebut dengan  America’s core culture, ia menyebutkan elemen-elemen penting peradaban seperti, Agama Kristen, nila-nilai dan moralitias Protestan, etika kerja, Bahasa Inggeris, Tradisi hukum bangsa Inggeris, keterbatasan kekuasaan pemerintahan, dan khazanah seni dan sastra, filsafat dan musik Eropa. Ini ditambah dengan kepercayaan bangsa Amerika tentang prinsip-prinsip kebebasan, persamaan, individualisme, perwakilan pemerintahan dan kekayaan pribadi.[20] Jadi, elemen-elemen utama peradaban Barat yang dapat ditangkap dari eksposisi Huntington tentang kultur Amerika adalah:
1) Prinsip-prinsip agama (faith),
2) Nilai-nilai moralitas dan etika kerja Protestan,
3) Filsafat
4) Politik
5) Kepercayaan (belief) terhadap prinsip-prinsip kebebasan, persamaan, individualisme, dan kapitalisme.
Lebih spesifik dan parsial lagi Ronald Inglehart and Pippa Norris menggambarkan perbedaan Islam dan Barat berkaitan dengan kesetaraan gender, dan kebebasan seks. Jadi yang terjadi antara Barat dan Islam, menurut mereka, adalah benturan peradaban seks (Sexual clash of Civilization). Menaggapi thesis Huntington mereka berkomentar:
Samuel Huntington hanya setengah benar. Garis kultural yang memisahkan Barat dan dunia Islam bukan tentang demokrasi tapi seks. Menurut hasil survey terbaru, Muslim dan Barat sama-sama menginginkan demokrasi, namun dunia mereka menjadi terpisah ketika mereka bersikap terhadap perceraian, aborsi, kesetaraan gender, dan hak-hak gay, sehingga hal ini tidak menjanjikan bagi masa depan demokrasi di Timur Tengah…….
Di Barat generasi mudanya, dalam soal seks, menjadi semakin liberal, sementara di dunia Islam masih tetap menjadi masyarakat yang paling tradisional di dunia”[21]

Pernyataan-pernyataan diatas hanyalah sedikit contoh dari gambaran tentang masyarakat Barat dan perbedaannya dengan Islam oleh orang Barat sendiri. Sudah tentu dibelakangnya terdapat cara pandang tersendiri. Jika dicermati dengan baik pernyataan-pernyataan itu sudah merupakan bukti adanya perang pemikiran. Bahkan eksposisi tentang thesis Huntington clash of civilization itu sebenarnya adalah deklarasi tentang perang pemikiran. Ia bukan hanya sekedar prediksi masa depan yang mengkhawatirkan, tapi merupakan gambaran masa kini dan masa lalu. Ia bukan asumsi-asumsi spekultatif tapi merupakan gambaran realitas yang bisa diterima, meskipun dengan beberapa catatan. Dan memang saat ini tengah terjadi benturan antara pandangan hidup Islam dan pandangan hidup Barat. Pernyataan Fukuyama, Huntington, maupun Ronald Inglehart and Pippa Norris dan banyak lagi yang lain umumnya membuka tabir identitas peradaban mereka sendiri. 

Ekspansi peradaban Barat
Dalam kondisi passif yang kita saksikan hanyalah suatu perbedaan biasa dan wajar. Tapi dalam gerakannya yang ekspansif melalui globalisasi, modernisasi, dan westernisasi dimana unsur-unsur peradaban Barat itu di ekspor ke bangsa-bangsa dan peradaban lain maka elemen peradaban Barat yang berada di garda depan adalah 1) Kristen 2) oritentalis dan 3) Kolonialis. Didalam ketiganya terdapat gerakan pemikiran yang mengusung prinsip-prinsip atau elemen-elemen pandangan hidup Barat seperti misalnya kebebasan, persamaan, kesetaraan gender, individualisme, relativisme, sekularisme, rasionalisme dan kapitalisme.  Berikut ini diungkapkan ujung tombak westernisasi yang telah kita reduksi menjadi tiga tersebut:

1) Kristenisasi
Ketika Barat masuk kenegara-negara Islam ia membawa serta misi agama, politik, ekonomi dan kebudayaan. Namun tidak banyak yang melihat bahwa Barat itu sendiri telah membawa seperangkat doktrin pemikiran yang berdasarkan pandangan hidup mereka. Hal ini dapat dicermati dari fakta sejarah bahwa gerakan kolonialisme selalu disertai atau bahkan didahului oleh kegiatan missionaris Kristen yang berkaitan dengan orientalisme. Keduanya tidak lain dari serangan pemikiran. Kerjasama missionaries, orientalis dan kolonialis ini telah lama terjadi dan dapat dibuktikan melalui pengakuan Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, seperti yang dikutip oleh Dr. Aqib Suminto berikut ini:
“……kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.” [22]

Peran Snough Hurgronye sebagai orientalis dalam memuluskan penjajahan Belanda di Indonesia merupakan bukti kongkrit kerjasama antara orientalisme, missionarisme dan kolonialisme Barat. Targetnya lagi-lagi berkaitan dengan pemikiran, yaitu untuk merubah cara berfikir ummat Islam. Program Kristenisasi yang saat ini menonjol adalah penghancuran pemikiran ummat Islam. Strategi ini telah lama diikrarkan oleh Samuel Zwemmer seorang orientalis Yahudi yang menjabat direktur organisasi misionaris dan yang juga pendiri Jurnal the Muslim World. Pada tahun 1935 pada Konferensi Misionaris di Kota Yerussalem Zwemmer mengatakan bahwa:
Misi utama kita sebagai orang Kristen bukan menghancurkan kaum Muslimin, namun mengeluarkan seorang Muslim dari Islam, agar jadi orang Muslim yang tidak berakhlak. Dengan begitu akan membuka pintu bagi kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam. Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam. Generasi Muslim yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi yang malas, dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsunya.

Di dalam mata rantai kebudayaan Barat, gerakan misi punya dua tugas: menghancurkan peradaban lawan (baca: peradaban Islam) dan membina kembali dalam bentuk peradaban Barat. Ini perlu dilakukan agar Muslim dapat berdiri pada barisan budaya Barat akhirnya muncul generasi Muslim yang memusuhi agamanya sendiri.[23]

Harry Dorman, dalam bukunya Towards Understanding Islam, mengungkapkan pernyataan seorang misonaris Kristen: “Boleh jadi, dalam beberapa tahun mendatang, sumbangan besar misionaris di wilayah-wilayah Muslim akan tidak begitu banyak memurtadkan orang muslim, melainkan lebih banyak menyelewengkan Islam itu sendiri. Inilah bidang tugas yang tidak bisa diabaikan.”  Dr. Cragg, seorang misionaris terkenal asal Inggris, menyatakan:“Tidak perlu diragukan bahwa harapan terakhir misi Kristen hanyalah melakukan perubahan sikap umat Muslim, sedemikian rupa sehingga mereka mau bertoleransi.”[24]
Apa yang disampaikan Zwemmer 70 tahun yang lalu itulah kini yang ditrapkan Barat untuk strategi perangan pemikiran terhadap ummat Islam. Oleh sebab itu gerakan Kristenisasi berkembang dari konversi kepada gerakan distorsi dan perang pemikiran.


2) Orientalisme
Orientalisme adalah suatu cara pandang orang Barat terhadap bangsa selain Barat. Bangsa-bangsa selain Barat itu – yakni bangsa-bangsa Timur Tengah dan Asia -  dilihat dengan kacamata rasial yang penuh prasangka. Bangsa-bangsa Timur dianggap mundur dan tidak sadar akan sejarah dan kebudayaan mereka sendiri. Untuk itu Barat kemudian “membantu” membuat kajian tentang konsep-konsep kebudayaan, sejarah, dan juga agama-agama  dan bangsa-bangsa Timur. Sudah tentu prinsip, metode dan pendekatan kajian ini khas Barat. Namun, kajian ini tidak murni kajian keilmuan, tapi kajian yang dimanfaatkan untuk program missionaris Kristen dan imperialisme Barat ke Negara-negara Timur.[25]
Akar gerakan orientalisme dapat ditelusur dari kegiatan mengkoleksi dan menterjemahkan teks-teks dalam khazanah intelektual Islam dari bahasa Arab ke bahasa Latin sejak Abad Pertengahan di Eropa. Kegiatan ini umumya dipelopori oleh para teolog Kristen. Dari hasil koleksi itu Museum London dan Mingana Collection di Inggeris adalah diantara pemilik koleksi manuskrip Islam terbesar di dunia. Selanjutnya, karena Orientalisme telah menjadi suatu tradisi pengkajian yang penting di dunia Barat, maka ia berkembang dan melembaga menjadi program formal di perguruan tinggi, dalam bentuk departemen atau jurusan dari universitas-universitas di Barat. Kini banyak sekali unversitas di Barat yang mendirikan program Islamic, Middle Eastern, atau Religious Studies. Universitas London misalnya mendirikan SOAS (School of Oriental African Studies), Universitas McGill Canada, Univesitas Leiden Belanda mendirikan Departement of Islamic Studies, Universitas Chicago, universitas Edinburgh, University of Pennsylvania, Philadelphia dan lain-lain mendirikan Departement of Middle Eastern Studies; Universitas Birmingham Inggeris mendirikan Centre for the Study of Islam-Christian Relation dan lain sebagainya.  Program-program kajian keislaman di universitas-universitas Barat tersebut merupakan tradisi yang kokoh karena didukung oleh pakar dan tokoh dibidang masing-masing. Sekedar untuk menyebut beberapa berikut ini nama-nama orientalis dalam beberapa bidang tertentu:

1) Bidang Teologi dan Filsafat: Montgomery Watt, O Learry, DB Mc Donald, Alfred Gullimaune, Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard  J McCarthy, Harry A. Wolfson, Shlomo Pines, Oliver Leaman dll. 2) Bidang Hadith Josep Schacht, Ignaz Golziher, G.H.A.Juyuboll, Eerik Dickson, Aarent J Wensinck, Nicholson, WD. Van Wijagaarden.  3)  Bidang Fikih Waell Hallaq, Harold Motzki, N.Calder, N.J. Coulson, J.Fuck, John Burton,  4) Bidang Politik Snouck Hurgronje, Bernard Lewis, Samuel Huntington, Bob Hefner, William Liddle, Greg Burton dll. 5) Bidang al-Qur’an Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, Gotthelf Bergtrasser, Otto Pretzl, Arthur Jewffery, John Wansbrough, John Burton, Richard Bell, Andrew Rippin, Chrostoph Luxemburg.[26] Dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan semua disini.

Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyimpulkan dalam 3 poin yaitu:
1) Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur (orient).
2) Bahwa orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah tentang kebudayaan Arab dan Islam. 
3) Bahwa meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.[27]

Ketiga kesimpulan Edward Said diatas adalah benar adanya, artinya studi Islam di Barat yang ada sekarang ini menggunakan cara pandang (framework) Barat dan oleh sebab itu jika tulisan para orientalis itu dikaji secara kritis maka akan menunjukkan beberapa kerancuan konsep. Gambaran tentang cara pandang (framework) Barat ini sebenarnya sangat kompleks, tapi secara sederhana dapat diartikan sebagai cara mereka memandang Islam dan peradabannya. Cara Barat melihat Islam sebagai din, Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, al-Qur’an sebagai wahyu dan kalam Tuhan, cara memahami hadith, sikap mereka terhadap otoritas ulama berbeda sama sekali dengan cara pandang Islam dan ummat Islam. Makna akhlaq dalam Islam yang berarti perilaku sesuai dengan hakekat penciptaannya (khulq) atau fitrahnya, misalnya, di Barat hanya diartikan sebagai moral atau karakter dan perilaku yang berdasarkan standar baik buruk yang ada di masyarakat. Jadi ukurannya berbeda, Islam berdasarkan wahyu, Barat berdasarkan realitas sosial.

Karena keseriusan para orientalis dalam mengkaji Islam akhirnya ada pula sisi positif yang bisa dimanfaatkan, terutamanya dalam pengkajian manuskrip-manuskrip penting dalam khazanah intelektual Islam, penyusunan lexicon, kamus-kamus dan encyclopedia. Meskipun demikian ummat Islam masih perlu bersikap kritis ketika membaca karya-karya mereka itu. Untuk mengkaji karya-karya orientalis secara kritis diperlukan ilmu pengetahuan Islam yang setanding dengan ilmu orientalis.

Namun, tantangan yang dihadap ummat bukan hanya dari pikiran para orientalis, tapi cencekiawan Muslim yang mengikuti cara berfikir orientalis dalam memahami Islam. Kini yang mengatakan semua agama sama, al-Qu’ran bukan wahyu Allah, Ajaran Islam itu menindas kaum wanita, dan sebagainya bukan lagi orientalis, tapi para cendekiawan Muslim sendiri. Produk dari kuatnya tradisi oritentalisme itu adalah terbitnya karya-karya mereka yang kemudian dirujuk dan bahkan diikuti oleh para cendekiawan Muslim. Akhirnya, oritentalisme juga memproduk cendekiawan Muslim yang tidak kritis terhadap Barat dan bahkan mengikuti saja cara berfikir mereka. Kini muncul cendekiawan Muslim di berbagai Negara Islam yang  mengusung ide-ide yang merupakan agenda Barat. Untuk sekedar menyebut beberapa berikut ini nama-nama mereka:
Teologi, Filsafat dan Pluralisme agama: Rene Guenon, Fritjhof Schuon, Martin Ling, Syed Hussein Nasr, Muhammad Sachidina, Hasan Askari, Mahmud Ayyub, Farid Eschack Hermeneutika: Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, Gender dan feminisme: Aminah Wadud Muhsin, Fatimah Mernisi, Nawal Sa’dawi  Islam Kiri: Hasan Hanafi, Asghar Ali dll. Fiqih: Abdullah Ahmad al-Naim, Muhammad Syahrur. Dsb

Sekedar contoh marilah kita lihat bagaimana perjalanan ide orientalis sampai kepada pemikir Muslim. Para orientalis dari generasi ke generasi menyatakan bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad. Hal ini dapat dibaca dari pernyataan G.Sale, [dalam bukunya The Qur’an:Commonly called al-Qur’an:Preliminary Discoursei, (1734)], Sir William Muir [dalam bukunya Life of Mahomet (1860)], A.N. Wollaston [dalam bukunya The Religion of The Koran (1905)], H. Lammens, dalam  [Islam Belief and Institution (1926)], Champion & Short [dalam buknya Reading from World Religious Fawcett, (1959),] JB. Glubb, [dalam bukunya The Life and Time of Muhammad (1970)] dan M. Rodinson [dalam bukunya Islam and Capitalism (1977)].  Ide ini diterjemahkan oleh Muhammad Arkoun menjadi begini: al-Qur’an adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan oleh Muhammad dan dengan bahasa Muhammad sebagai manusia biasa. Senada dengan itu seorang cendekiawan Muslim liberal yang diusir dari Mesir bernama Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahawa karena al-Qur’an turun dalam ruang sejarah Arab maka  ia adalah produk budaya Arab (muntaj thaqafi).  Implikasi ide ini adalah bahwa al-Qur’an bukan firman Allah yang suci dan perlu disucikan dan disakralkan dank arena itu ummat Islam tidak terlalu fanatic berpegang pada al-Qur’an; dan agar ummat Islam mau menafsirkan al-Qur’an tanpa takut-takut, karena ia hanya perkataan manusia biasa.

3. Politik dan kolonialisme

Adalah wajar jika Barat sebagai suatu peradaban yang menguasai dunia, menginginkan semua peradaban yang ada di muka bumi ini mengikuti mereka. Tapi sungguh tidak wajar jika keinginan itu berbentuk sikap ekspansif dan emperialistis. Disini Barat menginginkan agar ide-ide atau pemikiran Islam dan ummat Islam sejalan dengan pemikiran dan kepercayaan Barat. Sebab dengan begitu ummat Islam tidak akan menentang agenda Barat. Tapi tingkat yang lebih tinggi Barat dapat menentukan kelompok mana yang ia sukai dan tidak dari kelompok-kelompok dalam Islam. Masih sejalan dengan apa yang dikatakan Zwemmer diatas bahwa ummat Islam harus diperangi melalui pemikiran mereka, sebuah laporan analisis yang diterbitkan oleh RAND National Security Research Division, berjudul Civil Democratic Islam, Partners Resources and Streategies mengemukakan strategi bagaimana menghadapi Islam. Laporan itu membagi ummat Islam menjadi 4 kelompok dan memberi masukan bagaimana seharusnya sikap Amerika terhadap keempat kelompok tersebut:

1)      Fundamentalis, yaitu kelompok yang menolak nilai-nilai demokrasi,  dan kultur Barat kontemporer. Mereka menginginkan negara autoritarian dan murni untuk melaksanakan hukum dan nilai-nilai moral Islam, tapi mau menggunakan teknologi modern untuk mencapai tujuan mereka.
2)      Traditionalis, yaitu kelompok yang menginginkan masyrakat konservatif, curiga terhadap modernitas, innovasi dan perubahan.
3)      Modernis, yaitu kelompok yang menginginkan agar dunia Islam menjadi bagian dari modernitas global. Mereka ingin memodernisir Islam agar sejalan dengan zaman.
4)      Secularis yaitu kelompok yang mengingkan dunia Islam menerima pemisahan gereja dan negara, sebagaimana yang terjadi pada demokrasi industri Barat, dimana agama diposisikan sebagai urusan pribadi

Lebih taktis lagi Cheryl Benard mengemukakan langkah-langkah praktis untuk menghadapi masing-masing kelompok. Disini obyek yang dijadikan sasaran politik bukan hanya salah satu kelompok dari keempat kelompok yang disebutkan, tapi justru seluruh kelompok ummat Islam. Diakhir saran-saran yang dikemukakan ia mengingatkan agar kebijakan yang diambil disesuaikan dengan strategis tidaknya isu yang berkembang. Saran-saran terhadap keempat kelompok tersebut dapat disimak berikut ini:

a. Dukung kelompok modernis (liberal),

yaitu dengan:
► Menerbitkan karya-karya mereka dengan subsidi;
► Memotivisir mereka untuk menulis di media massa dan untuk remaja;
► Perkenalkan pandangan mereka tentang kurikulum pendidikan Islam, tentang masalah-masalah penafsiran keagamaan agar bersaing dengan pandangan fundamentalis dan tradisionalis yang memiliki penerbit, sekolah,  institute dan lain-lain;
► Motivasi anak-anak muda untuk memposisikan sekularisme dan modernisme sebagai konsep tandingan (counter culture);
► Permudah mereka untuk membangkitkan kesadaran mereka tentang sejarah dan kebudayaan pra-Islam dan non-Islam melalui media dan kurikulum.

b. Dukung kelmpok tradisional dalam melawan fundamentalis:

yaitu dengan:
► Menerbitkan kritik tradisionalis terhadap kekerasan dan ekstrimisme kelompok fundamentalis; 
► Cegah persatuan antara tradisionalis dan fundamentalis;
► Dukunglah kerjasama antara modernis dengan tradisionalis yang lebih dekat kepada tujuan-tujuan modernis;
► Jika perlu didiklah tradisionalis agar menguasai cara-cara berdebat dengan fundamentalis;
► Tingkatkan jumlah figur-figur modernis dalam institusi tradisional; dukung mazhab-mazhab yang sejalan dengan modernisme seperti mazhab Hanafi misalnya untuk melemahkan mazhab yang lain;
► Angkat popularitas dan penerimaan tasawwuf.  

c. Hadapi dan lawan fundamentalis:

yaitu dengan
► menantang penafsiran mereka tentang Islam dan beberkan kerancuannya.
► Beberkan hubungan mereka dengan kelompok-kelompok dan aktifitas illegal.
►  Publikasikan konsekuensi-konsekuensi dari aksi-aksi kekerasan mereka;
► Tunjukkan ketidak-mampuan mereka dalam memimpin, dan dalam melaksanakan pembangunan negara dan masyarakat secara positif;
► Sampaikan saran-saran ini kepada anak-anak muda, penduduk tradisionalis yang saleh, minoritas Muslim di Barat dan kepada wanita;
► Hindarkan sikap respek dan penghargaan terhadap aksi kekerasan kelompok fundamentalis, ► Ekstrimis dan terroris; dukung para wartawan untuk menyelidiki isu-isu korupsi, sikap hipokrit, dan immoralitas yang terjadi dikalangan fundamentalis dan teroris;
► Pecahlah kelompok fundamentalis menjadi beberapa bagian.

4) Dukunglah sekularis dengan secara hati-hati:

yaitu dengan:
► Menyebarkan pengakuan bahwa fundamentalisme adalah musuh bersama;
► Hindarkan agar kelompok sekuler tidak bergabung dengan kelompok anti Amerika, seperti nasionalisme dan ideologi kiri;
► Dukung ide bahwa agama dan negara dalam Islam juga dapat dipisahkan, dan hal itu tidak membahayakan keimanan, bahkan sebenarnya justru memperkuat.

Dari keempat kelompok tersebut yang mendapat dukungan adalah kelompok modernis, karena dianggap sesuai dengan peradaban Barat. Lebih lengkap dinayatakan begini:

Dari semua kelompok, kelompok ini (modernis) adalah yang paling bersahabat terhadap nilai-nilai dan jiwa masyarakat demokratis modern. Modernisme, dan bukan tradisionalisme, adalah yang membantu Barat. (Misi kelompok) ini menyangkut perlunya menyimpang, memodifikasi dan mengesampingkan secara selektif elemen-elemen doktrin keagamaan yang orisinal. Kitab Perjanjian Lama tidaklah berbeda dari al-Qur’an dalam menghukumi perilaku dan mengontrol sejumlah peraturan dan nilai-nilai yang tidak dapat dipahami secara literal oleh masyarakat masa kini. Ini tidak masalah, sebab saat ini hanya sedikit sekali orang yang mempertahankan agar kita semua hidup yang secara literal sama dengan Bible. Sebaliknya, kita sepakat pada visi bahwa misi yang sebenarnya dari Yahudi dan Kristen itu mengungguli (makna) literal teks, yang sebenarnya telah kita anggap sebagai sejarah dan legenda belaka. Ini adalah persis seperti pendekatan yang diambil oleh modernist Muslim.[28]


Yang pasti orientalisme dan kolonialisme Barat mempunyai hubungan dan bahkan kesamaan obyek. Obyek kajian orientalis adalah Negara-negara Timur, khususnya Islam dan sasaran politik kolonialisme adalah juga Negara-negara Islam. Sementara itu Kristen yang gagal di Barat juga mengarahkan misinya ke Timur. Orientalisme sangat berguna bagi memudahkan jalan kolonialisme, dan untuk kepentingan itu Barat membuat program khusus melalui agensi-agensinya, yaitu yayasan-yayasan yang bertugas khsusus menjalakan misi tersebut. Diantara yayasan yang aktif saat ini adalah  Yayasan AMINEF (Amerika), The Asia Foundation (Amerika), Tifa Foundation / George Sorosh Foundation (Amerika),  Ford Foudation, (Amerika), CIDA, Canada-Indonesia Development Agency, (Canada), dan lain-lain.

Dari sekian yayasan asing yang paling aktif kini adalah The Asia Foundation. Diantara programnya disebutkan begini:

Recognizing the importance of reinforcing inclusive and pluralist values within Indonesia’s Muslim majority population, The Asia Foundation has been supporting a diverse group of mass-based Muslim groups since 1970s. In the context of an increasingly diverse Islamic society in Indonesia, The Foundation now support over 30 Muslim non-Government organization (NGO), in their efforts to promote the concept that Islamic values can the basis for a democratic political system, non-violance, and  religious tolerance. In the area of civic education, human right, intercommunity reconciliation, gender equality, and inter-faith dialogue, the Foundation works with these NGO’s and mass-based organization in their effort to make Islam a catalyst for democratization in Indonesia.  ……The programs include training for religious leaders, studies examining gender issues and human rights in Islam, civic education course at Islamic institute, Muslim women’s advocacy centers and the strenghthening the pluralist and tolerant Islamic media.



Terjemahannya bebasnya adalah sbb:
Menyadari akan pentingnya nilai-nilai inklusif dan pluralis dalam masyarakat Muslim Indonesia yang mayoritas, The Asia Foundation telah memberikan bantuan kepada berbagai ormas Islam sejak tahun 1970an. Dalam konteks masyarakat Islam Indonesia yang semakin berragam, The Asia Foundation kini membantu lebih dari 30 kelompok LSM dalam upaya mereka mempromosikan konsep bahwa nilai-nilai Islam itu dapat menjadi asas bagi sistim politik demikratis, anti-kekerasan dan toleransi beragama. Dalam kaitannya dengan pendidikan sipil, HAM, penyatuan antar komunitas, persamaan gender, dialog antar agama, Yayasan ini bekerjasama dengan LSM-LSM yang ormas-ormas dalam usaha mereka menjadikan Islam sebagai media untuk demokratisasi di Indonesia…..Program-programnya  termasuk training tokoh-tokoh agama, kajian tentang issu gender dan hak azazai manusia dalam Islam, pelajaran tentang pendidikan sipil pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, pusat pembelaan terhadap wanita Muslim dan memperkuat media Islam yang pluralis dan toleran. 

Dari pernyataan diatas jelas sekali bahwa program yayasan asing itu adalah untuk memperkenalkan elemen penting dalam peradaban Barat seperti persamaan, persamaan gender, hak azazi manusia, pluralisme agama, demokrasi dan lain-lain yang kesemuanya berdasarkan pada cara berfikir (worldview) Barat. Selain daripada itu, disebutkan pula bahwa The Asia Foundation bersama USAID (US Agency for International Development) juga mempunyai program reformasi pendidikan di seluruh Indonesia baik pendidikan formal maupun informal, termasuk reformasi pendidikan di pesantren. Dalam reformasi itu nanti akan diajarkan mata pelajaran perbandingan agama, pendidikan sipil, pengembangan kurikulum, workshop-workshop, training pedagogi, dan kursus serta tutorial tentang prinsip-prinsip pluralisme dan demokrasi. Semuanya, menurut mereka, disusun berdasarkan pada ajaran Islam. Dari program Kristenisasi, Orientalisme dan Kolonialisme terdapat ide-ide yang sengaja di disseminasikan ketengah masyarkat Islam. Untuk mengetahuai ide-ide tersebut akan dijelaskan beberapa yang penting sbb:

a). Disseminasi paham Liberalisme Agama

Salah satu agenda pemerintahan George W Bush adalah liberalisasi dunia Islam. Sebab menjelang pemilihan Presiden Amerika Serikat majalah Times memuji keberhasilan Bush dalam upaya liberalisasi masyarakat Negara-negara Timur Tengah dalam berbagai hal. Yang dapat dirasakan di Indonesia saat ini adalah liberalisasi pemikiran keagamaan. Hal ini sejalan dengan saran-saran Cheryl Benard, dari LSM Coorporation, kepada pemerintah Amerika, seperti yang digambarkan diatas.
Liberalisasi pemikiran kegamaan dalam Islam dimaksudkan agar ummat Islam tidak lagi terikat pada doktrin-doktrin keagamaan yang dapat bertentangan dengan pandangan hidup dan kebudayaan Barat.

b). Disseminasi paham Pluralisme Agama

Makna pluralisme agama paska fatwa MUI banyak diperdebatkan orang. Namun perlu diketahui bahwa menurut definisi resmi mereka pluralisme adalah teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth). Ia terkadang juga dipahami sebagai doktrin yang berpandangan bahwa disana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya.  (no view is true, or that all view are equally true).[29]  Dalam aplikasinya terhadap agama maka pandangan ini berpendapat bahwa semua agama adalah sama benarnya dan sama validnya.
Paham pluralisme agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda tapi ujungnya sama yaitu: aliran kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religion) dan teologi global (global theology). Yang pertama lebih merupakan protes terhadap arus globalisasi, sedangkan yang kedua adalah kepanjangan tangan dan bahkan pendukung gerakan globalisasi, dan paham yang kedua inilah yang kini ujung tombak gerakan westernisasi. 
Karena pluralisme agama ini sejalan dengan agenda globalisasi, ia pun masuk kedalam wacana keagamaan agama-agama, termasuk Islam. Ketika paham ini masuk kedalam pemikiran keagamaan Islam respon yang timbul hanyalah adopsi ataupun modifikasi dalam takaran yang minimal dan lebih cenderung menjustifikasi. Akhirnya yang terjadi justru peleburan nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan Islam kedalam arus pemikiran modernisasi dan globalisasi. Caranya adalah dengan memaknai kembali konsep Ahlul Kitab dengan pendekatan Barat. Jika perlu makna itu di dekonstruksi dengan menggunakan ilmu-ilmu Barat modern. Inilah sebenarnya yang telah dilakukan oleh Mohammad Arkoun. Ia mengusulkan, misalnya, agar pemahaman Islam yang dianggap ortodoks  ditinjau kembali dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial-historis Barat. Dan dalam kaitannya dengan pluralisme agama ia mencanangkan agar makna Ahl al-Kitab itu didekonstruksi agar lebih kontekstual. Disitu ayat-ayat tentang Ahlul Kitab dijadikan alat justifikasi, meskipun terkadang dieksploitir tanpa memperhatikan konteks historis dan metodologi tafsir standar. Mindset seperti ini jelas sekali telah terhegomoni oleh pemikiran Barat.
Inti doktrinnya adalah untuk menghilangkan sifat ekslusif ummat beragama, khususnya Islam. Artinya dengan paham ini ummat Islam diharapkan tidak lagi bersikap fanatik, merasa benar sendiri dan menganggap agama lain salah. Menurut John Hick, tokoh pluralisme agama, diantara prinsip pluralisme agama menyatakan bahwa agama lain adalah sama-sama jalan yang benar menuju kebenaran yang sama  (Other religions are equally valid ways to the same truth).
Di Indonesia faham ini disebar luaskan pertama-tama oleh Sekolah Tinggi Teologi Kristen, dan diikuti oleh para cendekiawan Muslim. Jadi, pengembangan Teologi Pluralis itu sendiri sebenarnya merupakan pelaksanaan dari teori Samuel Zwemmer untuk melemahkan umat Islam. Dengan teologi semacam itu, umat Islam sudah terjebak untuk tidak meyakini kebenaran agamanya.
Penyebatan paham pluralisme agama adalah salah satu agenda liberalisasi pemikiran. Pluralisme agama adalah inovasi teologis, yang dibawa oleh agamawan liberal, yaitu bentuk finalnya adalah pluralisme agama. Dalam kaitannya dengan gerakan Postmodernisme, maka jelaslah bahwa paham (Pluralisme agama) ini dianut oleh mereka yang menerima aliran-aliran filsafat postmodern, khususnya dekonstruksionisme  Kelompok agamawan Liberal dalam agama-agama ini, tidak lagi mengklaim bahwa agama mereka adalah sempurna dan absolute



b. Disseminasi gagasan kawin antar agama

Dampak yang lebih kongkrit dan berbahaya dari paham pluralisme adalah diplokamirkannya praktek kawin beda agama. Untuk itu para cendekiawan Muslim mencoba merobah konsep ahlul kitab dalam al-Qur'an dan Hadith, dengan memasukkan semua agama sebagai ahlul kitab. Ini dimaksudkan untuk suatu kesimpulan bahwa semua agama adalah sama benarnya. Karena semua agama sama maka muncullah hukum baru yang membolehkan wanita Muslim kawin dengan laki-laki Kristen. Masalah perkawinan beda agama ini tercantum dalam “Universal Declaration of Human Right” pasal 16 ayat 1. Pasal itu berbunyi: “Pria-dan wanita dewasa, tanpa dibatasi oleh ras, kebangsaan, atau agama, memiliki hak untuk kawin dan membangun suatu keluarga. Mereka memiliki hak-hak sama perihal perkawinan, selama dalam perkawinan dan sesudah dibatalkannya perkawinan.”

Sebenarnya pasal ini telah ditolak oleh ummat Islm melalui Memorandum Organisasi Konferensi Islam (OKI). Dalam Memorandum tersebut ditekankan perlunya “kesamaan agama” dalam perkawinan bagi muslimah . Ditegaskan pula: “Perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap muslim, dan kesamaan agama bagi setiap muslimat.” Jika dilacak lebih jauh maka penerimaan paham pluralisme agama berarti penerimaan agama lain sebagai sama benarnya dengan Islam. Malangnya, gagasan ini mendapat sambutan yang positif dari sekolompok cendekiawan Muslim yang didukung oleh universtias Paramadina. Buku yang berjudul Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Yayasan Paramadina adalah hasil dari pemikiran pluralisme agama yang disebarkan Barat. Islam mengakui adanya pluralitas agama (keberagaman agama) tapi menolak ide pluralisme agama (kesatuan agama-agama).[30]

c) Disseminasi doktrin relativisme

Doktrin relativisme mulanya berasal dari Protagoras, seorang Sofis yang berprinsip bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu. (man is the measur of all things). Doktrin ini berpegang pada prinsip bahwa kebenaran itu sendiri adalah relatif terhadap pendirian subyek yang memutuskan. Relativisme juga dianggap sebagai doktrin global tentang semua ilmu pengetahuan. Disini aspek-aspek sang subyek yang menentukan apa makna kebenaran itu, dapat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah, kultural, sosial, linguistik, psikologis.[31] Dengan tersebarnya doktrin ini tidak sedikit cendekiawan Muslim yang lalu berkesimpulan bahwa manusia tidak ada yang tahu kebenaran, yang tahu hanya Allah. Bahkan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah kalam Allah yang absolute, tapi ucapan Nabi sebagai manusia yang relatif. Doktrin relativisme ini juga brekaitan dengan doktrin sofisme yang mempunyai implikasi yang dalam terhadap epistemologi Islam. Jika doktrin ini diterima oleh seorang Muslim maka struktrur ilmu pengetahuan dalam Islam dan bahkan agama Islam itu sendiri sudah tidak ada artinya apa-apa lagi, karena semua relatif. Beragama menjadi sia-sia belaka, karena tidak ada kebenaran yang pasti yang bisa dipegang.  Dengan berpegang pada doktrin ini maka ummat Islam tidak lagi masalah apakah mengikuti cara berfikir Islam atau Barat yang sekuler dan liberal.
d) Disseminasi paham dan kepercayaan masyarakat Barat yang terdiri dari prinsip-prinsip kebebasan (liberalisme), persamaan, feminisme (kesetaraan gender), individualisme, demokrasi dan lain-lain. Paham dan kepercayaan ini di adopsi secara amatiran (baca sesuka hati) tanpa proses epistemologi yang jelas kedalam alam pikiran keagamaan Islam. Hasil dari usaha ini sudah tentu kerancuan pemikiran dan ketidakjelasan struktur konsepnya.

V. Kesimpulan

Masalah pemikiran adalah masalah yang berkaitan dengan ilmu, dan masalah ilmu berkaitan dengan ibadah. Jika terjadi kerancuan pemikiran maka mengkounter atau meng-islah permikiran tersebut adalah termasuk dalam bab ibadah. Kerancuan pemikiran yang disebabkan oleh masuknya anasir peradaban diluar Islam bukan terjadi pada masa sekarang saja, tapi sejak periode awal peradaban Islam bangkit dan berkembang. Dalam situasi perang pemikiran seperti ini Islam sebagai agama yang salih likulli zaman wa makan telah memiliki mekanisme tersendiri untuk merespon. Namun perlu diingat bahwa perang pemikiran memerlukan rentang waktu yang lebih lama, ia bahkan boleh jadi berlangsung sepanjang satu generasi. Maka dari itu dalam perang pemikiran yang dipicu oleh globalisasi dan westernisasi ini ummat Islam tidak perlu membawanya kepada peperangan fisik. Apa yang harus dilakukan ummat Islam sebaiknya bersifat institusional. Terdapat sedikitnya 4 langkah yang diambil disini :  

  1. Menanamkan kesadaran dikalangan ummat Islam dan sekaligus menunjukkan bukti-bukti ilmiyah bahwa paham-paham dari peradaban Barat yang berupa sekularisasme, liberalisme, feminisme, pluralisme agama, relativisme dsb. yang saat ini sedang melanda dunia Islam tidak sesuai dan bertentangan dengan pandangan hidup Islam.
  2. Memperluas tradisi dan materi bahth al-masa’il dari pemikiran para ulama di masa lalu dalam berbagai bidang, kepada pemikiran-pemikiran orientalis dan kalau mungkin pemikiran Barat secara umum yang menjadi tantangannya.
  3. Semua lembaga ummat Islam, baik pendidikan, dakwah, ekonomi dan lain-lain perlu memikirkan secara serius langkah kaderisasi ummat dalam bidang agama, agar 20 tahun yang akan datang di Indonesia nanti tidak akan ada lagi cendekiawan Muslim yang berfikir dalam framework Barat sehingga justru menghujat Islam dan ulama’nya.
  4. Badan-badan usaha ummat Islam dan juga pengusaha-pengusaha Muslim perlu ikut berjuang dengan hartanya untuk mendukung langkah-langkah yang diambil oleh lembaga pendidikan dan lembaga dakwah Islam.

Pemikiran mempunyai peran penting dalam pembangunan peradaban Islam, sebab dalam Islam pemikiran selalu mendahului perilaku individu, sebab ilmu selalu mendahului amal. Rusaknya amal disebabkan oleh rusaknya ilmu. Ilmu tanpa amal adalah gila dan amal tanpa ilmu adalah sombong (al-Ghazzali). Oleh sebab itu dalam menghadapoi perang pemikiran prioritas utama perlu diberikan kepada peningkatan ilmu pengetahuan Muslim dalam berbagai bidang ilmu agama. Tradisi keilmuan yang dikembangkan dari pandangan hidup Islam yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah, dan warisan tradisi intelektual Islam perlu terus dipertahankan dan dikembangkan. Wallahu a’lam bissawab.


Siman,  15 Juli, 2006





[1]  Edwind Hung dan Gutting sepakat bahwa paradigma sama dengan worldview. Hung menyatakan bahwa “…..each paradigm determines the way science should be practiced. It is a weltanschauung”; Lihat Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives (Belmont, California, Wardsworth, 1997) hal. 368. Dengan nada yang sama Garry Gutting juga menyatakan bahwa “to accept a paradigm is to accept a comprehensive scientific, metaphysical and methodological worldview. Lihat Gary Gutting, “Introduction” dalam Paradigm and Revolutiona: Appraisal and Application  of Thomas Kuhn’s Philosophy of Science, ed. Gary Gutting (Notre Dame, Ind.: University of Notre Dame Press, 1980, hal. V,1.
[2] Kajian Ninian Smart membuktikan bahwa perkataan bahasa Inggris, worldview tidak mencakup makna pandangan hidup yang menggambarkan visi yang mencakup realitas keagamaan dan ideologi. Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, Charles Sribner's sons, New York, n.d. 1-2
[3] Smart, Ibid
[4]  Aslinya: An integrated system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning of existence, Lihat Thomas F Wall, Thinking Critically About Philosophical Problem,  A Modern Introduction, Wadsworth, Thomson Learning, Australia, 2001, 532. 
[5]  Aslinya: The foundation of all human conduct, including scientific and technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview. Lihat Alparslan Acikgence, "The Framework for A history of Islamic Philosophy", Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civlization, (ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2, 6.
[6]  Kuhn menyatakan:”penelitian ilmiyah diarahkan kepada artikulasi fenomena-fenomea dan teori-teori yang paradigmanya telah tersedia”  Lihat Thomas S Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, International Encyclopedia of Unified Science, vol.2, no 2 (Chicago: Univerity of Chicago Press, 1970. 24.
[7]  Lihat Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives (Belmont, California, Wardsworth, 1997) hal. 340, 355, 368, 370.
[8] Thomas F Wall, Thinking.. , 16
[9]  Ibid, 60
[10]  Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, 8-9
[11] Shaykh ÓÏif al-Zayn, al-IslÉm, 11-12
[12]  Sayyid Qutb, KhaÎÉiÎ al-TaÎawwur al-IslÉmi wa MuqawamÉtuhË, Cairo, al-Babi al-Halabi, 1962, hal.45;Lihat juga Sayyid Qutb, MuqawwamÉt al-Tasawwur al-Islami, 30-34
[13]S.M.N, al-Attas, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress”, dalam Sharifah Shifa al-Attas ed. Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context, Kuala Lumpur Agustus, 1-5, 1994, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, hal. 29
[14] S.M.N, al-Attas in his Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of  the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC, 1995, ix.
[15] Ronald Inglehart and Pippa Norris, The True Clash of Civilization, dalam http://www.keepmedia.com/pubs/ForeignPolicy/2003/03/01/6424/?extID=10047&data=samuel_huntington
[16]  Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Secularism, ISTAC, 1993, hlm 134.
[17] Ronald Inglehart and Pippa Norris, The True Clash of Civilization, dalam http://www.keepmedia.com/pubs/ForeignPolicy/2003/03/01/6424/?extID=10047&data=samuel_huntington
[18]  Aslinya:”Indeed, the Islamic world would seem more vulnerable to liberal ideas in the long run than the reverse, since such liberalism has attracted numerous and powerful Muslim adherent over the past century and  a half.  Part of the the reason for current, fundamentalist revival is the stregth of the perceived threat from liberal, Western values to traditional Islamic societies. Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Avon Book, New York, 1992,hal 45-46.
[19] Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to His Critics, dalam
 http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html
[20] http://www.newyorker.com/critics/books/?040517crbo_books
[21] Ronald et al, The True….
[22] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, 1985, hal. 26)
[23]  Ali Gharisah, Wajah Dunia Islam Kontemporer, Pustaka Al Kautsar, 1989, hal. 41
[24] Lihat dalam Maryam Jameela, Islam dan Orientalisme, 1994, hal 8-9, 51-52
[25] Lihat Edward Said, Orientalism, New York: Vintage, 1979, 1-3,5.
[26] Perlu dicatat dalam beberapa kasus nama-nama dan bidang kepakaran orientalis terkadang bertumpang tindih (overlap), ada yang menguasai lebih dari satu bidang.
[27] Keith Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” The New Criterion Vol. 17, No. 5, January 1999, hal. 5)
[28] Cheryl Benard , Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies, RAND, National Security Research Division, the RAND Corporation, 2003, hal 53.   
[29] Simon Blackburn,  Oxford Dictionary of Philosophy, Oxford University Press, Oxford, lihat “Pluralism”.
 [30] Untuk lebih jelas tentang kerancuan paham Pluralisme agama ini baca majalah ISLAMIA, edisi 3, September-November, 2004.   
[31]  Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, Oxford University Press, 1996,  s.v. relativism

0 Komentar

SPONSORS

stock images10,000 FREE FACEBOOK FANSFree Blogger TemplatesPremium WordPress Themes