PEMIKIRAN FENOMENOLOGI MENURUT EDMUND HUSSERL
A. Pendahuluan
Istilah fenomena sudah menjadi sebuah kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah hanya sekedar kata yang sudah biasa di pakai atau hanya sebuah istilah yang manjadi kata penghias dalam pembicaraan. atau hanya pengalaman panca indra kita, yang kita ungkapkan kepada orang lain.. Menurut hemat penulis, sudah sepantasnyalah jika kita berbicara mengenai
fenomenologi, pasti tidak lepas dari suatu terminologi “what is it?”(Apa itu?).
Terdorong dari kemauan untuk memahami secara lebih mendalam tentang apa itu
fenomenologi. Pertanyaan inilah yang selalu “terngiang-ngiang” dalam benak
penulis, sehingga mengantarkan kepada suatu pengertian yang mendalam mengenai
konsep Fenomenologi Edmund Husserl.
Perlu diketahui bahwa di sini penulis hanya membahas beberapa hal dari
kehidupan Edmund Husserl. Pertama, riwayat hidupnya. Dalam
mendalami pemikirannya, tentu lebih utama kita harus tahu sedikit mengenai
identitasnya. Siapa dia, berasal dari mana, bagaimana latar belakang
kehidupannya, dan sebagainya. Dua, karya atau pemikiran
utamanya. Untuk mengetahui pemikirannya, perlulah kita mengerti terlebih dahulu
tulisan-tulisan terpentingnya. Tiga, pikiran-pikiran pokok.
Tulisan ini difokuskan pada Pemikiran Fenomenologi Menurut Edmund
Husserl. Sebab ia tokoh pertama selaku pendiri aliran ini. Ia
mempengaruhi filsafat abad XX secara mendalam sampai pada penemuan akan
analisa struktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan sebagaimana struktur
ini terarah pada obyek real dan ideal. Bagi Husserl, Fenomenologi
ialah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phenomena).
Fenomenologi dengan demikian, merupakan ilmu yang mempelajari, atau apa yang
menampakkan diri fenomenon. Karena itu, setiap penelitian atau
setiap karya yang membahas cara penampakkan dari apa saja, sudah merupakan
fenomenologi.
Secara material penulisan karya ini memiliki tujuan yang mendasar, yaitu
sebagai pembuka cakrawala pengetahuan filsafat pada umumnya dan fenomenologi
pada khususnya, mengingat pengetahuan filsafat merupakan pengetahuan yang
memerlukan energi yang cukup untuk mempelajarinya, hingga mampu masuk ke
“relung” terdalam dari ranah filsafat.
B. Riwayat Hidup
Fenomenologi sebagai suatu gerakan filsafat hingga memperoleh bentuk
seperti sekarang ini, pertama kali diintrodusir oleh filsuf Jerman Edmund
Gustav Aibercht Husserl[1], lahir
di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga
yahudi. Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan
filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia
tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari
tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di
Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam,
dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode
“Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl
meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya
dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di
Belgia[2].
C. Tulisan-Tulisan Terpenting
1). Logische Untersucgsuchugen I dan II(Penyelidikan-penyelidikan logis), tahun 1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu
harus dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan (obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas
ini sekali lagi menunjukkan sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin
memasukkan logika ke dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan
proses faktual kegiatan akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah
atau tidaknya kegiatan akal tersebut. Edmund Hsserl menganalisa srtuktur
intensi dari tindakan-tindakan mental dan bagaimana struktur ini terarah pada
obyek yang real dan ideal.
2). Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen
Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan
untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu filsafat fenomenologis). Untuk pertama
kalinya terkuak kecenderungan idealistik ini. Seorang fenomenolog harus secara
sangat cermat “menempatkan di antara tanda kurung”, artinya kenyataan di antara
dunia luar. Yang utama ialah fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam
kesadaran. Usaha untuk melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan
metode yang khas, karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk
merembes di mana-mana dan menyebabkan analisa yang keliru.
3). Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini dibahas beberapa
permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin penting. “Aku bertolak dari
kesadaranku untuk menemukan kesadaran transedental (prinsip dasar dari
pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman) di
dalamnya, tetapi bagaimana caranya menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah
dengan demikian mau tidak mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya
akan diri sendiri), sehingga yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana
aku dapat mengetahui adanya dunia intersubjektif?
D. Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani : phainestai yang
berarti “menunjukan” dan “menampakan diri sendiri”. Sebagai ‘aliran’
epistemologi, fenomenologi di perkenalkan oleh Edmund Husserl (1859-1938),
meski sebenarnya istilah tersebut telah digunakan oleh beberapa filsuf
sebelumnya. Secara umum pendangan fenomenologi ini bisa dilihat pada dua
posisi, yang pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positiveme
sebagaimana di gambarkan di atas, dan yang kedua, ia sebenarnya sebagai kritik
terhadap pemikiran kritisisme Imanuel Kant, terutama konsepnya tentang
fenomenon –fenomenon.[3]
Seperti yang telah kita ketahui, konsepsi Kant tentang peoses pengetahuan
manusia adalah suatu proses sintesa antara apa yang ia sebut dengan apriori dan
aposteriori. Yang pertama merupakan aktivitas rasio yang aktif dan
dinamis dalam membangun, dan berfungsi sebagai bentuk (form) pengetanuan,
sedang yang kedua merupakan cerapan pengalaman yang berfungsi sebagai ‘isi’
(matter) pengetahuan, yang terdiri dari fenomena objek. Karena rasio bersifat
aktif dalam mengkonstruk fenomena menjadi pengetahuan sesuai dengan kategori
–kategori rasio, maka pengetanuan manusia tidak mungkin menjangkau noumena.[4]
Dari sini tampak bahwa Kant menggunakan kata fenomena untuk
menunjukan penampakan sesuatu dalam kesadatan sedangkan noumena adalah realitas
( das Ding an Sich) yang berada
di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena
– fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar (
berupa benda –benda atau nampak tetap menjadi objek kesadaran kita ) yang kita
kenal. Noumena yang selalu tetap menjadi teka teki dan tinggal sebagai “x” yang
tidak dapat di kenal karena ia terselubungdari kesadaran kita. fenomena yang
nampak dalam kesadaran kita ketika
berhadapan dengan realitas ( noumena ) itulah yang kita kenal. Melihat warna
merah, misalnya tidak lain adalah hasil cerapan indrawi yang membentuk
pengalaman batin yang diakibatkan oleh sesuatu dari luat. Warna merah itu
sendiru merupakan realitas yang tidak di kenal pada diri sendiri ( in se ). Ini
berarti kesadaran kita tertutup dan terisolasi dari realitas. Demikianlah, Kant
sebenarnya mengakui adanya realitas eksternal yang berada di luar diri manusia,
yaitu sebuah realitas itu ia sebut das Ding as Sich ( objek pada dirinya
sendiri ) atau noumena, tetapi menurutnya, manusia tidak ada sarana –ilmiah
untuk mengetahuinya.
Sebagai reaksi terhadap pemikiran sebelumnya, berikut ini akan dibahas dua
pandangan fenomenologi yang cukup penting yaitu prinsif epoche dan eidetic
vision dan konsep “ dunia kehidupan” ( lebenswslt).
Jadi , Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi
ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran[5] . Pertanyaannya, bagaimana esensi-esensi tersebut, tanpa terkontaminasi
kecenderungan psikologisme dan naturalisme? Husserl mengajukan satu prosedur
yang dinamakan epoche (penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan
esensi). Tanpa penundaan
asumsi naturalisme dan psikolgisme, kita akan terjebak pada dikotomi.[6] Dikotomi diartikan
sebagai klasifikasi ke dalam dua kelas sebagai sifat-sifat paradoks yang
berpasangan; pembagian dua konsep yang bertentangan satu sama
lain) (subyek-obyek yang menyesatkan/bertentangan satu sama lain).
Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap kita
kepada dunia, yakni sikap yang menghayati, bukan memikirkan benda-benda. Contohnya, saat
mengambil gelas, saya tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat dan
lebar) melainkan menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini
yang hilang dari pengalaman kita, kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan
ini yang kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi
Husserl ialah dari pemikiran gurunya, Franz Bretano. Dari Brentano-lah Husserl
mengambil konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris.[7], Rigoris merupakan
suatu sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya
suatu tindakan, bersikeras mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat)
(sikap pikiran di mana dalam pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya
suatu tindakan); sebagaimana juga bahwa filsafat terdiri atas deskripsi dan
bukan penjelasan kausal.
Sebelum tahun 1908 Husserl dan gurunya, mengartikan fenomenologi sebagai
“fenomenologi psikologis”, yaitu Psikologi Deskriptif. Psikologi yang hanya
mencatat apa yang dilihat, tanpa mencari keterangan-keterangan mengenai sebab
gejala-gejala. Husserl berkata bahwa “kita perlu kembali ke
benda-benda sendiri” (Zu den Sachen selbst). Obyek-obyek
harus diberi kesempatan untuk berbicara. Deskripsi fenomenologis tidak
dimaksudkan untuk menggantikan keterangan ilmiah, melainkan baru sebagai
persiapan untuk keterangan ilmiah. Melalui deskripsi fenomenologis dicari Wesenchau:
melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala. Untuk mencapai hal ini, kita
harus memakai metode variasi eidetis (dalam fantasi, kita membayangkan gejala
dalam macam-macam keadaan yang berbeda), sehingga tampak apa yang merupakan
batas invariabel dalam situasi-situasi yang berbeda ini. Yang muncul sebagai
sesuatu yang berubah-ubah itu disebut wesen, yang
dicari.
Setelah tahun 1908 Fenomenologi Husserl menjadi “fenomenologi
Transendental”. Dia berpendapat dalam periode ini bahwa kesadaran bukan bagian
dari kenyataan, melainkan asal dari kenyataan. Husserl menolak kesadaran
bipolaritas (kesadaran dan alam, subyek dan obyek). Artinya kesadaran tidak
menemukan obyek-obyek. Obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran. Dengan pendapat
ini, Husserl dekat dengan idealisme. Bagi ilmu-ilmu, kesadaran dan alam memang
tampak sebagai dua pola dalam kenyataan, namun harus dipasang dalam suatu
ideologi idealitas yang hanya masih menerima satu pola, yaitu kesadaran.
E. Intensionalitas
Salah satu hal yang muncul sebagai hasil fenomenologi Husserl ialah
perhatian baru untuk intensionalitas kesadaran[8].
Kesadaran kita tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada
kesadaran memang diandaikan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek yang terbuka
untuk obyek-obyek yang ada. Fakta bahwa kesadaran selalu terarah kepada
obyek-obyek disebut intensionalitas (dari kata “intendere” artinya
“menuju ke”). Kiranya tidak tepat mengatakan bahwa kesadaran mempunyai
“intensionalitas”, karena kesadaran itu justru intensionalitas. Entah kita
sungguh-sungguh melihat suatu pemandangan itu, bila kita masih menyadari
perbedaan antara kedua kemungkinan ini maka kita tetap menyadari sesuatu.
Kesadaran tidak pernah pasif melulu. Karena menyadari sesuatu berarti mengubah
sesuatu. Hal yang disadari dijadikan sesuatu yang ada bagi saya. Kesadaran itu
bukan berarti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan. Artinya
terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dengan obyek kesadaran. Namun
interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama
penting. Karena akhirnya, hanya ada kesadaran, obyek yang disadari itu hanyalah
suatu ciptaan kesadaran.
Pengalaman subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang terlibat
secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi selalu
menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu kita tidak boleh
memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam kardus”.
Pengalaman bukan sebuah “celah” yang mana dunia, hadir terpisah darinya,
menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang asing ke
dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran yang mana bagi saya, sosok yang
mengalami, wujud yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana sebagaimana adanya
dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana pengalaman sendiri. Lewar intensionalitas,
yang melekatkannya[9].
F. Tiga Jenis Reduksi[10]
Supaya dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat obyek-obyek, maka
dibutuhkan tiga reduksi. Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua hal yang
mengganggu kalau kita ingin mencapai wesenschau. Reduksi pertama:
menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif,
terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Dua: menyingkirkan
seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber
lain. Tiga: menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan.
Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain harus, untuk sementara
dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat
memperlihatkan diri, menjadi fenomin (memperlihatkan diri).
G. Relevansi
Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik
secara langsung (kita sadari) maupun yang tidak kita sadari. Fenomena-fenomena
yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam
media masa; salah satunya tentang “global warming”. Adapun fenomena yang
baru saja kita alami yakni bencana alam. Khususnya di Indonesia kita dapat
melihat fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri kita yang tercinta
ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya
terjadi, antara lain misalnya saja; meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan
gelombang Tsunami di Aceh. Memang kita yakin bahwa penyebabnya ialah
keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini,
ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan hidup.
Menurut hemat penulis, baik global warming maupun
fenomena-fenomena alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih
aktual untuk diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Misalnya,
menumpuknya sampah di TPA Spiturang. Siapa yang percaya bahwa pemulung yang
sering mengais-ngais sampah itu sebenarnya orang kaya. Rupanya dibalik semuanya
itu ada fenomena-fenomena yang mau disampaikan. Dalam hal ini, sebaiknya
janganlah kita melihatnya hanya sebatas mata melihat/apa yang tampak pada mata
kita, tetapi sebenarnya ada fenomena yang tersembunyi dibalik semuanya itu
yaitu pemulung di TPA Spiturang adalah bukan semuanya miskin, tetapi kebanyakan
orang kaya.
Dalam tulisan ini, penulis menghimbau kepada kita yang hadir di sini;
supaya dalam melihat, merasakan (mengalami) setiap fenomena-fenomena dalam
hidup, selalu bertitik berangkat dari pemikiran fenomenologi, di mana kita
perlu kembali kepada benda-benda itu sendiri. Jelas bahwa yang dimaksud ialah
membiarkan obyek-obyek itu menampilkan seperti dirinya sendiri. Dengan demikian
kita akan menjadi “pewaris” pemikiran Husserl dan juga kita akan dibawa kepada
suatu referensi yang mendalam dari luasnya panorama-panorama fenomenologi
dewasa ini. Sedangkan bagi masyarakat pada umumnya. Semoga dengan memandang
fenomena dari dua sudut yaitu melihat fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau
berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kemudian melihat fenomena dari
sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Dengan
demikian, dalam memandang fenomena-fenomena harus melihat ‘penyaringan’ (ratio)
terlebih dahulu sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.
H. Kesimpulan
Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun masih
jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang bagaimana
semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu
kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada
benda-benda itu sendiri). Dengan pernyataan ini Husserl menghantar kita untuk
memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan
bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada kita. Namun sesungguhnya usaha
kembali pada benda-benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada
realitas itu sebagaimana dia tampil dalam keasadaran kita. Apa yang tampil
kepada kita itulah yang disebut fenomena.
Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya,
atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada kita. Karena kesadaran semestinya
merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya dan fenomenologi
adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan filsafat utama.
Eksistensialisme berhubungan erat dengan fenomenologi. Fenomenologi lebih
suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl
kemudian dikembangkan oleh muridnya antara lain; M. Scheler dan Merleau-Ponty.
Fenomenologi mengatakan bahwa kita harus memperkenalkan gejala-gejala dengan
menggunakan intuisi. Kenyataan tidak harus didekati dengan argumen-argumen,
konsep-konsep dan teori umum. Setiap benda mempunyai “hakekat-hakekatnya” dan
“hakekat” ini berbicara kepada kita kalau kita membuka diri untuknya. Kita
harus “mengabstrahir” dari semua hal yang tidak hakiki. Kalau segala sesuatu
yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal yang ingin kita selidiki,
mulai berbicara dan “bahasa” ini dimengerti berkat intuisi kita. Oleh karena
itu, metode fenomenologis telah membuktikan manfaatnya untuk epistemologi,
psikologi, antropologi, studi agama-agama dan etika.
Daftar Pustaka
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia,
2005.
Delfgaauw, Bernard, Filsafat Abad XX, Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1988.
Gahral Adian, Donny, Percik Pemikiran Kontemporer (sebuah
Pengantar Komprehensif),
Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
Hamersma, Herry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta:
Gramedia, 1983.
Hamersma, Herry, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1980.
Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru), Jakarta:
Pustaka Phoenix, 2007.
0 Komentar