RASA
Kitab Thauqul Hamamah Fil Alfah wal Allafmerupakan salah satu karya sastra fenomenal yang ditulis pada abad pertengahan. Kitab yang ditulis Ibnu Hazem al-Andalusi (384-456 H) itu banyak berbicara tentang cinta dan persahabatan.
Karya sastra ini dianggap fenomenal karena uraiannya yang luas tentang permasalahan cinta dan lebih jauh lagi dalam kehidupan manusia secara umum. Didukung oleh kemampuan penulis dalam membaca corak karakter manusia dan rahasianya yang paling dalam.
Sebenarnya manuskrip ini adalah biografi penulisnya yang menggambarkan perasaannya dalam hidup. Ibnu Hazem telah menggabungkan antara pemikiran cinta dalam mata filsafat dan realita sejarah. Oleh karena itu, buku tersebut mengupas pemikirannya dan murni dari pengalaman yang dilaluinya.
Sangat berani, lugas, dan bebas dari perasaan takut kepada penguasa. Pemikirannya didukung oleh kisah-kisah yang ia dengar atau ia alami, kemudian karya tersebut ia bumbui dengan sejumlah syair-syairnya yang kontekstual.
Kitab Thauqul Hamamah Fil Alfah wal Allafmerupakan salah satu karya sastra fenomenal yang ditulis pada abad pertengahan. Kitab yang ditulis Ibnu Hazem al-Andalusi (384-456 H) itu banyak berbicara tentang cinta dan persahabatan.
Karya sastra ini dianggap fenomenal karena uraiannya yang luas tentang permasalahan cinta dan lebih jauh lagi dalam kehidupan manusia secara umum. Didukung oleh kemampuan penulis dalam membaca corak karakter manusia dan rahasianya yang paling dalam.
Sebenarnya manuskrip ini adalah biografi penulisnya yang menggambarkan perasaannya dalam hidup. Ibnu Hazem telah menggabungkan antara pemikiran cinta dalam mata filsafat dan realita sejarah. Oleh karena itu, buku tersebut mengupas pemikirannya dan murni dari pengalaman yang dilaluinya.
Sangat berani, lugas, dan bebas dari perasaan takut kepada penguasa. Pemikirannya didukung oleh kisah-kisah yang ia dengar atau ia alami, kemudian karya tersebut ia bumbui dengan sejumlah syair-syairnya yang kontekstual.
Ibnu Hazem
Ia bernama lengkap Ali bin Ahmad bin Hazem, sementara kakeknya bernama Yazid berasal dari Persia. Ia dilahirkan di kota Kordoba pada tahun 384 Hijriyah dan tumbuh di tengah keluarga yang penuh dengan harta dan kekayaan. Ia pernah mengatakan, “Hal yang paling sering aku lihat adalah mimbar-mimbar dari emas dan perak.”
Ibnu Hazem dikenal sebagai penyair dan sastrawan yang kental dengan peradaban sehingga menjadikannya mampu mengeksplorasi sebuah syair. Dan, banyak dari syairsyairnya mengungkapkan sesuatu yang mengelilingi perasaannya serta hal-hal yang dirasakan kebanyakan orang. Terkadang mengungkapkan pandangan-pandangannya kepada dunia dan perputarannya. Ibnu Hazem dikenal sebagai sastrawan, alim, dan ahli fikih Mazhab adz-Dzahiri.
Thauqul Hamamahmelewati proses penerbitan yang panjang untuk sampai ke tangan kita sesuai dengan naskahnya yang asli. Naskah, uraian, dan revisinya diulas oleh berbagai misionaris. Dan, mereka mempunyai peran sangat besar untuk menjadi kan nya sampai ke tengah-tengah umat Islam.
Pada pertengahan pertama abad ke-17, Duta Besar asal Belanda misionaris Von Werner mempelajari beberapa manuskrip Arab di sela-sela tugasnya sebagai diplomat di Istanbul, Turki. Tanpa sengaja, ia membeli seribu manuskrip dari lelaki bernama Haji Khalifah, seseorang yang memiliki perpustakaan terbesar di Istanbul.
Di antara manuskrip yang dibelinya itu terselip manuskrip ini, yang ditakdirkan tersimpan di perpustakaan Leiden Belanda selama kurang lebih 175 tahun. Sampai akhirnya pada awal abad ke-19, misionaris Belanda Reinhart menerbitkan buku cetakan pertama yang memuat daftar isi manuskrip Arab di Universitas Leiden.
Dunia kemudian mengetahui di antara daftar isi tersebut terdapat manuskrip Thauqul Hamamah. Selanjutnya, seorang misionaris muda Rusia DK Petrov menerbitkan naskah Arab Thauqul Hamamah secara lengkap dalam buku berseri yang dicetak oleh Fakultas Sastra Universitas Petersburg. Kemudian dicetak ulang di percetakan Brill Arabic di Leiden pada tahun 1974.
Setelah tujuh belas tahun dari cetakan pertamanya, Muhammad Yasin Arafah, pemilik perpustakaan Arafah di Damaskus mencetak naskah ini dalam bahasa Arab untuk kedua kalinya pada 1930, tanpa banyak mengubah dari naskah yang diterbitkan Petrov.
Sampai kemudian diterbitkan cetakan ketiga pada 1949 oleh misionaris Prancis Leon Brecher di Al Jazair. Pada 1950, Hasan Kamil ash-Shairafi menerbitkan cetakan keempat buku tersebut di Kairo. Akan tetapi, cetakan ini menjadi cetakan terburuk dari cetakan-cetakan sebelumnya disebabkan kurangnya pemahaman ash-Shairafi tentang sejarah Andalusia dan peradabannya.
Dan, terakhir Dr Thahir Ahmad Makki menekuni naskah tersebut dan menjelaskan catatan-catatannya dalam cetakan yang diterbitkan oleh Daar al Ma’arifMesir pada tahun 1975.
Dalam karyanya, Ibnu Hazem menceritakan pengalamannya jatuh cinta kepada seorang gadis. Saat itu ia berumur 15 tahun. Gadis yang dicintainya itu kira-kira berumur tidak jauh darinya. Ia mengisahkan telah berusaha untuk berbicara dengannya. Susunan-susunan kalimat dalam hatinya tertuju pada gadis itu, akan tetapi gadis itu tidak menjawab kata-katanya, disebabkan rasa malu dan takut yang menyelimutinya.
Ibnu Hazem mengisahkan bahwa ia pernah melihat gadis itu memainkan alat musik dari gitar kayu dan bernyanyi. Suatu hari ia mendengar gadis itu menden dangkan bait-bait syair kepada Abbas bin Ahnaf di sebuah kebun. Maka, bertambahlah cintanya kepada gadis itu, kemudian ia memaparkan pengaruh nyanyian gadis itu, Demi Allah, aku tidak melupakan kenangan hari itu dan aku tidak akan pernah melupakannya sampai ajal menjemput!
Lalu, ia menulis sebuah syair mengungkapkan rasa cinta dan kesucian kasihnya kepada gadis itu sekaligus memahami penolakannya tempo hari. Simaklah baitbait yang ditulisnya itu:
Jangan kau dekati jika ia menjauh serta enggan berjumpa, namun mengapa ia menjauh?
Mungkinkah bulan sabit turun mendekat? Ataupun kijang diam tak berlari.
Akan tetapi, kedua bait ini tidak mendapatkan jawaban. Oleh karena itu, tidak lama kemudian Ibnu Hazem mengirim dua bait lagi kepada gadis itu untuk mengadukan kegelisahan jiwanya dan rasa cintanya yang membara kepadanya:
Aku menikmati sakit karenamu wahai harapanku, dan aku tidak akan meninggalkanmu sepanjang waktu.
Jika seseorang berkata kepadaku: Kau hanya menghibur diri dengan kasih sayangnya! maka tiada jawaban kecuali huruf Laam dan Alif! (Tidak).
Inti cinta dalam T hauqul Hamamah
Cinta awalnya penderitaan dan akhirnya ialah kesungguhan.Ia tidak bisa diumpamakan, akan tetapi harus dipahami maknamaknanya sampai Anda tahu dengan sendirinya. Agama tidak menolaknya dan syariat tidak melarangnya karena hati berada di genggaman Allah SWT. Karena para Khalifah dan banyak ulama yang diberi petunjuk pun pernah jatuh cinta.
Rasa cinta begitu beragam. Yang paling mulia adalah cinta orang-orang yang saling mengasihi di jalan Allah SWT. Kemudian cinta kepada keluarga, cinta untuk menyusun dan bersatu dalam tanggung jawab, cinta kepada pertemanan dan pengetahuan, cinta akan kebaikan yang diberikan seseorang kepada saudaranya, dan cinta yang tamak kepada popularitas orang yang dicintainya.
Ada pula cinta untuk mencari kepuasan biologis dan sebatas menyalurkan nafsu seks, serta cinta dengan kerinduan yang tidak dapat diobati kecuali bertemu dengan jiwa-jiwa yang terpisah. Kesemua cinta ini dapat berubah sesuai perubahan sebab-sebabnya, kecuali cinta yang disertai kerinduan yang benar dan tidak ada obatnya, itulah cinta yang abadi kecuali dipisahkan oleh kematian.
Dalam kondisi cinta seperti itu, pikiran menjadi sangat serius, membuat gila, beragam bisikan, tubuh menjadi kurus kering, dan seluruh tanda-tanda kesedihan hadir. Semua keadaan ini tidak ditemukan dalam jenis-jenis cinta yang lain.
Sifat tamak merupakan inti dari rasa cinta, sebagaimana sifat ini pada sisi yang lain adalah sebab utama setiap kesedihan. Memang benar terdapat banyak jenis rasa cinta yang tampak berbeda di luarnya, namun semuanya kembali kepada satu asal, yaitu sifat tamak. Atas dasar sifat tamak ini mungkin kita dapat merunut jenis-jenis cinta itu sebagai berikut:
Rasa cinta terendah yang disertai tamak kepada kekasih yaitu lebih mementingkan dirinya, memuliakan kedudukannya, dan mendekat kepadanya. Jika sikap rakusnya tidak berlebihan, maka ini merupakan batas sifat tamak orang-orang yang mencintai di jalan Allah SWT. Jika sikap tamak ini bergerak cepat dalam majlis-majlis, pembicaraan, dan perkumpulan, inilah sikap tamak seseorang dalam kekuasaan, persahabatan, dan orang yang dikasihinya. Cinta disertai tamak yang paling khusus kepada seorang kekasih adalah bersatu dan menikah dengannya.
Terdapat tanda-tanda tertentu sebelum api cinta berkobar yang memungkinkan bagi seseorang yang cerdas untuk melihatnya. Di antaranya, yaitu kecanduan untuk memandang kekasih dan mengikutinya disetiap ia berada. Dan, merasa bingung ketika melihatnya secara tiba-tiba. Perasaan was-was bagi yang jatuh cinta ketika nama sang kekasih disebutkan. Merespons pembicaraan sepanjang mendengarkan kata-katanya. Kemudian membenarkannya meskipun ia telah berdusta. Ia akan mendukung katakatanya meskipun berlaku zalim kepada orang lain. Ia berusaha untuk menyentuhnya dan enggan untuk meninggalkan tempat di mana kekasihnya berada.
Secara singkat, Ibnu Hazem mendefinisikan bahwa cinta adalah penawar untuk penyakit yang tidak ada obatnya. Dan, sebagai alasan yang diterima bagi seseorang pecinta yang tidak menginginkan untuk sembuh selamanya! Kitab Thauqul Hamamahtelah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa.
Di dalamnya diceritakan pula tentang kisah cinta para pangeran dan khalifah Andalusia kepada para wanita. Di antaranya adalah kisah khalifah al-Hakam Muntashir Billah yang jatuh cinta kepada seorang gadis Spanyol dari wilayah Paskh sebelah Utara. Gadis itu biasa dipanggil Auroda dan kemudian dinikahi oleh al-Hakam, setelah menikah diberi nama Shabah. Dialah yang berperan besar dalam perpolitikan Andalusia dan darinya lahir khalifah Hisyam bin al-Hakam. Diceritakan juga kisah cinta pangeran Abdurrahman kepada pelayannya bernama Thorub yang kemudian ia nikahi dan merupakan satu-satunya perempuan yang ia cintai sampai ia meninggal dunia . Wallahu alam. ed: heri ruslan, penulis alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
0 Komentar