Konsep
Pemikiran Hermeneutika Hans Geodg Gadamer
A.
Pendahuluan
Mendengar kata Hermeneutika rasanya tidak
asing lagi ditelinga kita. karena metode ini sedang marak di bicarakan
dikalangan akademisi. Yaitu sebagai aliran filsafat yang digunakan menafsirkan
sebuah naskah melalui percobaan. Biasanya dipakai untuk menafsirkan bibel namun,
sekarang metode ini dicoba untuk menafsirkan al-Qur’an. Oleh karena itu hermeneutika
menjadi salah satu objek kajian kontemporer yang sangat menarik di kalangan
mahasiswa.
Banyak
problem yang disebabkan karena penggunaan metode ini dalam menafsirkan al-Qur’an.
Berbagai persoalan inilah yang harus kita cari solusinya. Makalah ini adalah
makalah singkat tentang sedikit pengenalan dasar metode Hermeneutika.
B.
Riwayat Hidup
Hans-Georg Gadamer
(lahir di Marburg,
Jerman,
11 Februari
1900 – meninggal
di Heidelberg,
Jerman,
13 Maret
2002 pada umur 102 tahun)
adalah seorang filsuf
Jerman
yang paling terkenal untuk adi karyanya pada 1960, Kebenaran dan Metode (Wahrheit
und Methode).
Gadamer dilahirkan di Marburg,
Jerman,
sebagai anak seorang kimiawan farmasi yang belakangan juga menjadi rektor universitas
di sana. Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam dan makin
lama makin tertarik akan humaniora. Ia bertumbuh dan belajar di Breslau
di bawah Hönigswald, namun tak lama
kemudian kembali ke Marburg untuk belajar dengan para filsuf Neo-Kantian Paul Natorp
dan Nicolai Hartmann. Ia
mempertahankan disertasinya pada 1922.
Tak lama kemudian, Gadamer mengunjungi Freiburg
dan mulai belajar dengan Martin Heidegger, yang saat itu merupakan seorang
sarjana muda yang menjanjikan namun belum memperoleh gelar profesor. Ia
kemudian menjadi salah satu dari kelompok mahasiswa seperti Leo Strauss, Karl Löwith, dan Hannah Arendt.
Ia dan Heidegger menjadi akrab, dan ketika Heidegger mendapatkan posisi di Marburg,
Gadamer mengikutinya di sana. Pengaruh Heideggerlah yang memberikan Gadamer
pikiran bentuknya yang khas dan menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh
neo-Kantian sebelumnya dari Natorp dan Hartmann.
Gadamer menyusun habilitasinya pada
1929 dan menghabiskan masa-masa awal 1930-an untuk memberikan kuliah di
Marburg. Berbeda dengan Heidegger, Gadamer sangat anti-Nazi,
meskipun ia tidak aktif secara politik pada masa Reich Ketiga.
Ia tidak memperoleh jabatan yang dibayar pada masa Nazi dan tidak pernah
bergabung dengan partai itu. Hanya menjelang akhir Perang Dunia ia menerima
pengangkatan di Leipzig.
Pada 1946, ia terbukti tidak tercemari oleh Naziisme oleh pasukan pendudukan
Amerika dan diangkat menjadi rektor universitas. Jerman Timur yang komunis pun
tidak disukai Gadamer, dibandingkan dengan Reich Ketiga, dan karena itu ia
pindah ke Jerman Barat, pertama-tama menerima posisi di Frankfurt am
Main dan kemudian menggantikan Karl Jaspers
di Heidelberg
pada 1949. Ia tetap dalam posisi ini, sebagai emeritus, hingga kematiannya pada
2002.
Pada saat itulah ia menyelesaikan adi
karyanya Truth and Method ("Kebenaran dan Metode") (1960)
dan terlibat dalam perdebatannya yang terkenal dengan Jürgen
Habermas megnenai kemungkinan dalam mentransendensikan sejarah dan
kebudayaan guna menemukan posisi yang benar-benar obyektif yang daripadanya
orang dapat mengkritik masyarakat. Perdebatan ini tidak menemukan
kesimpulannya, tetapi merupakan awal dari hubungan yang hangat antara kedua
orang ini. Gadamerlah yang pertama-tama membuka jalan bagi Habermas untuk
mendapatkan gelar profesornya di Heidelberg.
Upaya yang lain untuk melibatkan Jacques
Derrida ternyata kurang memberikan hasil karena kedua pemikir tidak
banyak memiliki kesamaan. Setelah kematian Gadamer, Derrida menyebut kegagalan
mereka untuk menemukan titik temu sebagai salah satu kegagalan terburuk dalam
hidupnya dan mengungkapkan, dalam obituari utama untuk Gadamer, rasa hormatnya
yang besar baik secara pribadi maupun filosofis.
C.
Karya
Proyek
filsafat Gadamer, seperti dijelaskan dalam Truth and Method,
adalah menguraikan konsep "hermeneutika
filosofis", yang dimulai oleh Heidegger namun tak pernah
dibahasnya secara panjang lebar. Tujuan Gadamer adalah mengungkapkan hakikat
pemahaman manusia. Dalam bukunya Gadamer berargumen bahwa "kebenaran"
dan "metode" saling bertentangan. Ia bersikap kritis terhadap kedua
pendekatan terhadap humaniora (Geisteswissenschaften). Di satu pihak, ia
kritis terhadap pendekatan-pendekatan modern terhadap humaniora yang mengikuti
model ilmu-ilmu alam (dan dengan demikian menggunakan metode-metode ilmiah yang
ketat). Di pihak lain, ia mempersoalkan pendekatan tradisional dalam humaniora,
yang muncul dari Wilhelm Dilthey, yang percaya bahwa penafsiran
yang tepat tentang teks berarti mengungkapkan niat asli si pengarang yang
menuliskannya.
D.
Pengertian
Hermeneutika (dari bahasa Yunani Ερμηνεύω hermēneuō:
menafsirkan) adalah aliran filsafat yang bisa didefinisikan sebagai teori interpretasi dan penafsiran sebuah naskah melalui percobaan. Biasa
dipakai untuk menafsirkan Alkitab, terutama dalam studi kritik mengenai Alkitab.
Kata
Yunani
tersebut berhubungan dengan dewa Hermes, dewa dalam mitos orang Yunani, yang bertugas
menyampaikan berita dari para dewa kepada manusia. Dewa ini juga dewa ilmiah,
penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian.[1]
E.
Kritik
Hans-Georg Gadamer terhadap Sistem Pengetahuan
Secara umum, dunia hermeneutik adalah dunia
pemahaman atau penafsiran (verstehen). Dalam perkembangannya, metode
pemahaman ini dari generasi ke generasi terus berkembang. Pada tingkat awal,
dunia hermeneutik dibuka dengan gagasan Schleiermacher dan Dilthey yang biasa
dikenal dengan hermeneutika romantis.[2]Dalam
pandangan Schleiermacher dan Dilthey, mengerti atau memahami suatu teks adalah
menemukan arti asli teks tersebut atau menampilkan apa yang dimaksud oleh
pengarang teks, yakni pikiran, pendapat, visi, perasaan, dan maksud pengarang
teks. Oleh karena itu, seorang penafsir harus memiliki pengetahuan yang luas
tentang sejarah dan psikologi. Bagi kedua pemikir perintis hermeneutik ini,
interpretasi suatu teks merupakan pekerjaan reproduktif. Mencapai arti yang
benar dan genuine dari suatu teks adalah kembali kepada apa yang
dihayati dan mau dikatakan oleh sang pengarang. Singkatnya, kerja interpretasi
adalah kerja rekonstruksi sebuah teks demi mendulang sebuah makna asli.[3]
Selain itu, dalam pemikiran Schleiermacher dan
Dilthey, seorang interpretator harus sanggup melepaskan diri dari situasi
historisnya. Ia seolah-olah dapat “pindah” ke zaman lain. Artinya, seorang
interpretator tidak boleh terikat dengan suatu horison historis yang
melingkupinya.[4]
Tegasnya, ia keluar dari situasi dan kondisi zamannya untuk kemudian melancong
ke situasi dan kondisi penulis teks.
Walaupun Gadamer termasuk pengagum
Schleiermacher dan Dilthey, dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh
Schleiermacher dan Dilthey, tetapi Gadamer juga banyak memberikan kritik
terhadap pemikiran dua tokoh romantik ini. Pertama, Gadamer keberatan
dengan pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menerangkan bahwa hermeneutik
bertugas menemukan makna asli sebuah teks. Menurut Gadamer, interpretasi tidak
sama dengan mengambil suatu teks lalu mencari makna yang dikehendaki oleh
pengarang teks tersebut. Bagi Gadamer, arti suatu teks tetap terbuka dan tidak
terbatas pada maksud pengarang teks tersebut.[5]
Karena itu, interpretasi tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi juga
produktif.[6]
Kedua, Gadamer juga mengkritik pendapat hermeneutika
romantis tentang waktu, yakni bahwa seorang interpretator harus dapat melepaskan
diri dari dimensi waktu yang melingkupinya dan berziarah ke dimensi waktu
pengarang teks. Menurut Gadamer, kita sebagai interpretator tidak dapat
melepaskan diri dari situasi historis di mana kita berada. Arti suatu teks
tidak terbatas pada masa lampau waktu teks tersebut ditulis, tetapi juga
mempunyai keterbukaan makna untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh
karena itu, memahami dan menginterpretasikan suatu teks merupakan tugas yang
tidak akan pernah selesai. Setiap zaman memiliki beban tugas untuk
menginterpretasikan suatu teks. Dalam istilah F. Budi Hardiman, makna teks
bukanlah makna bagi pengarangnya, melainkan makna bagi kita yang hidup di zaman
ini. Maka, menafsirkan adalah proses kreatif.[7]
Ketiga, Gadamer juga mengkritik secara tajam konsep
“tradisi’ dan “prasangka” yang digagas para pengusung hermeneutika romantis.
Menurut tradisi hermeneutika romantis, dalam menafsirkan suatu teks, prasangka
harus dihindarkan jauh-jauh. Menurut para pemikir hermeneutika romantis,
prasangka (prejudice) hanya memiliki arti kurang baik dan bertentangan
dengan kebenaran. Gadamer menolak pandangan ini. Menurut Gadamer, dalam
memahami suatu teks, kita tidak dapat melepaskan diri dari prasangka. Akan
tetapi, bukan berarti interpretasi menjadi suatu usaha yang subjektif dan tidak
kritis. Oleh karena itu, kita harus membedakan antara prasangka yang legitim
dan prasangka yang tidak legitim, serta antara prasangka yang sah dan prasangka
yang tidak sah. Demikian pula, sementara hermeneutika romantis menafikan
otoritas suatu tradisi, Gadamer justru mengakuinya. Menurut Gadamer, walaupun
kita mengakui otoritas suatu tradisi dan bahkan menjadi bagian dari tradisi,
tetapi hal itu tidak akan menghambat pengenalan kita terhadap suatu teks.
Sebaliknya, tradisi justru akan membantu kita dalam proses pemahaman.[8]
Selain mengkritisi beberapa konsep hermeneutika
romantis yang digagas oleh Schleiermacher dan Dilthey, Gadamer juga mengkritik
epistemologi hermeneutika romantis yang cenderung metodologis. Yakni, bahwa
ilmu pengetahuan apa pun baru diakui sebagai ilmiah jika memiliki basis
empirisme. Dengan pola pikir ini, hermeneutika menjadi bagian dari alam
positivisme yang mensyaratkan objektivisme. Oleh karena itu, model hermeneutik
yang diusung oleh Schleiermacher dan Dilthey, juga Betti, ini sering juga
disebut hermeneutika objektivis.[9]
Pandangan ini dibantah oleh Gadamer. Gadamer
berpendapat bahwa upaya objektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka
bagi siapa pun yang akan menafsirkan sebuah teks. Sebab, jurang tradisi antara
pengarang dan penafsir tidak mungkin disatukan lagi. Selain itu, penafsir juga
tidak dapat dikosongkan dari pengaruh kulturalnya. Oleh karena itu, menurut
Gadamer, upaya objektivisme murni dalam hermeneutik hanya akan menjadi
kesia-siaan. Hal yang mungkin dilakukan adalah memproduksi makna yang dikandung
oleh teks sehingga teks tersebut akan menjadi lebih kaya makna. Gadamer
menegaskan bahwa jurang waktu dan jurang tradisi antara pengarang dan penafsir
tidak mungkin disatukan. Menurutnya, yang terpenting adalah dialektika atau
dialog yang produktif antara masa lalu dan masa kini.[10]
Dengan demikian kegiatan menafsir adalah
kegiatan yang biasa kita lakukan di dalam hidup kita sehari-hari.
1.
[1]
^
(Inggris)Bernard Ramm, Protetant
Biblical Interpretation, trans. Silas C.Y. Chan (Monterey Park, Ca.: Living
Spring Publishing, 1983), hal. 10. Arndt and Gingrich, A Greek-English Lexicon
of The New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago: The Univ,
of Chicago Press, 1957), hal. 309-310.
[2]
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas:
Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 37. Bandingkan dengan E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1999), hlm. 23-24.
[3]
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema
Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 8-11.
[4]
Edisi bahasa Inggris-nya berjudul Truth and Method (New York:
The Seabury Press, 1965). Adapun edisi bahasa Indonesia-nya berjudul Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika,
terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
[5]
Menurut sumber lain, Gadamer dilahirkan di kota Marburg. Lihat “Hans-Georg
Gadamer”, dalam www.id.wikipedia.org, 12 November
2009.
[6]
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta:
Gramedia, 2002), hlm. 254.
[7]
Ibid., hlm. 254-255.
0 Komentar